- Back to Home »
- Peron Tiga
Posted by : Gelas Kaca
May 13, 2020
Peron Tiga
Untuk
pertama kalinya aku menunggu kedatangan kereta tengah
malam dan menyaksikan pemandangan malam di stasiun. Aroma malam pekat semakin
menusuk tubuhku yang larut dalam penantian. Bising suara jangkrik dan hentak
kaki penjaga stasiun yang mondar-mandir menjadi hiburanku.
Malam itu aku memutuskan untuk duduk di
bangku tunggu peron satu sambil membaca novel Lalita dari Ayu Utami. Larut
dalam hening malam dan bisikan angin yang sepoi membuatku semakin menikmati
penantian ini. Seketika itu tiba-tiba saja aku melihat dari seberang peron tiga
ada seorang wanita yang duduk sambil melambaikan tangan kepadaku seakan memberi
isyarat untuk menyuruhku menghampirinya. Tanpa berpikir panjang aku langsung
berjalan menujunya.
Sesampainya di dekat wanita itu aku
tersenyum kepadanya dan duduk di sampingnya.
“Kamu menunggu siapa?” sapa ku Dia menatapku dan tersenyum
“Menunggu teman atau siapa? Aku sedang menunggu adikku. Ini perta ma
kalinya aku menunggu kereta luar kota tengah malam di stasiun
ini. Ternyata warna malam yang pekat ini mampu
menghipnotisku untuk betah berlama- lama menunggunya. Bagaimana denganmu?” ucapku sambil
membalas senyumnya
Lagi,,lagii wanita ini hanya diam dan
menatapku sambil sesekali melempar senyum padaku. Aku sempat dibuatnya
kebingungan dia tak menjawab semua pertayaanku hingga akhirnya aku memutuskan
untuk melanjutkan membaca novel dan memilih tetap duduk di dekatnya.
Sambil membaca novel sesekali dia
menatapku dengan tatapan dalam dan itu membuat ku risih.
“Ah, ya sudahlah aku abaikan saja
wanita ini. Dia aneh ku tanya tak dijawab tapi selalu menatapku dan tersenyum.”
Gerutu ku di hati.
Aku larut
dalam novel Lalita dan mengabaikan
wanita yang duduk disebelahku. Aku menganggapnya tak waras karena selalu melemparkan senyum padaku tapi tak mau di ajak
bicara. Aku ajak bicara
juga tak pernah di jawab hanya
membuat kesal saja.
###
Sudah hampir tiga jam aku menunggu
kedatangan adikku di stasiun ini. Namun keretanya tak kunjung datang. Aku mulai
gelisah dan berpikiran yang tidak-tidak.
“Astagfirullah.” Ucapku sambil mengelus dada
Pikiran jelek mulai menghantuiku. Tidak
aku tak boleh berpikiran seperti ini. Adikku sebentar lagi akan sampai. Aku
menatap pada wanita di sampingku nampaknya dia santai saja tak khawatir
sedikitpun berbeda denganku yang mulai gelisah.
“Kamu menunggu siapa Mba? Kenapa dari
tadi pertanyaanku tak dijawab.” Ucapku kembali memecahkan keheningan dan
membuka kembali pembicaraan yang memang belum sempat terbangun antara kami.
Kali ini dia kembali menatapku dan
tersenyum. Ah, perasaan ku mulai tak enak. Wanita ini bisu atau bagaimana
pikiran yang tidak-tidak tentang wanita ini mulai menghampiriku.
“Menunggu keluargaku.” Jawab wanita itu singkat “Akhirnya dia berbicara juga.” Lirihku dalam hati
“Oh begitu, aku menunggu adikku. Kamu
menunggu kereta darimana?” sambungku
Kembali ia melemparkan senyum dan tak memperdulikan pertanyaanku. Ah, lagi
lagi dia membuatku kesal pertanyaaku
di abaikannya lagi. Karena gelisah sudah
berjam-jam menunggu. Aku memutuskan untuk meninggalkan
wanita itu dan menghampiri petugas stasiun
“Pak kedatangan kereta dari Yogyakarta
jam berapa yah? Saya melihat jadwal kedatangannya jam 23.15 Wib tapi sudah jam
segini belum juga sampai.” Tanyaku pada petugas loket kereta luar kota
“Maaf Mba, keretanya mengalami
keterlambatan mungkin akan sampai sekitar satu jam lagi.” Jawab petugas loket
“Baiklah pak.”
Jawabku kesal
Berjam-jam menunggu di sini membuatku bosan. Aku
memutuskan untuk masuk ke
Indomaret dan memb eli cemilan.
Kemudian kembali duduk di bangku
tunggu peron satu. Aku tak ingin kembali ke tempat wanita itu. Dia hanya
membuatku kesal saja.
Wanita itu kembali melambaikan
tangannya ke arahku. Tapi kali ini aku mengabaikannya. Cukup sudah dia
membuatku kesal lebih baik aku menunggu di sini saja sambil membaca novel dan
menikmati cemilan.
###
Grit grit griiiiiiit suara pluit kereta
dari kejauhan membangunkan ku yang mulai larut dalam mimpi indah bersama lalita
yang membangun peradaban jagad di Nusantara. Segera aku berlari menuju peron
tiga tepat di mana kereta itu berhenti.
Ku pandangi satu per satu wajah yang
turun dari kereta tapi tak ku temukan wajah adikku. Apa aku mulai tak mengenali
wajahnya, enam tahun sudah kami tak bertemu. Semenjak ayah dan ibu memutuskan
untuk berpisah. Aku yang memutuskan untuk tinggal bersama ayah di Jakarta dan
dia memutuskan untuk tinggal bersama Ibu di Yogyakarta. Saat kami berpisah adikku
baru tamat SD dia masih sangat kecil untuk menjadi korban pertikaian antara
ayah dan ibu.
Hampir tiga puluh menit aku mondar-
mandir di stasiun untuk mencarinya tapi sungguh aku tak dapat mengenali wajah
adikku sendiri. Rasa bersalah perlahan menghampiri.
“Kakak macam apa aku ini, wajah adik sendiripun tak dapat ku kenali.”
Bentakku keras hingga membuat penjaga stasiun kaget.
Perlahan stasiun mulai sepi dan aku masih belum menemukan adikku. Rasanya tak ingin ku langkahkan kaki ini pulang. Ayah pasti akan menanyakan di mana
Ira. Mengapa aku pulang bersamanya. Ayah sudah teramat
rindu dengan anak bungsunya itu.
Aku menghempaskan badan ke tiang yang
ada di peron tiga. Rasa bersalah nampak jelas di wajahku. Tiba-tiba saja aku di
kagetkan oleh seorang perempuan yang tiba-tiba saja ada di depanku. Dia
tersenyum dan menatapku dengan wajah riang. Dia wanita yang tadi aku ajak
bicara di bangku tuggu peron tiga. Ternyata dia belum pulang.
“Mba, kamu menunggu siapa? Kenapa belum pulang juga?” Ucapku padanya Dia hanya tersenyum dan kali
ini senyumnya seakan mendamaikanku.
“Jangan senyum-senyum saja
mba, Ini sudah larut tidak baik
sendirian malam hari dan di tempat terbuka
seperti ini.”
“Kamu menunggu siapa? Kenapa belum pulang? Bukankah kereta
terakhir telah datang.” Ucapnya padaku
“Aku menunggu adikku. Bodohnya aku tidak mengenali wajahnya
sehingga aku kesulitan untuk menemukannya. Kamu sendiri menunggu siapa.?”
“Aku menunggu keluargaku.” Jawabnya singkat
“Lalu mana keluargamu? Bukankah kereta terkhir telah datang.”
Dia hanya tersenyum dan memelukku. Seketika aku kaget
pelukkannya sungguh erat hingga membuatku sulit untuk bernapas.
“Siapa wanita ini?
Apa dia adikku.” Lirihku di hati.
“Maaf
kamu siapa mba? Apa kamu Ira adik yang ku tunggu dari tadi?”
Dia terseyum dan memberiku satu buah photo
usang.
Sontak air mataku
menghujan melihatnya. Photo itu adalah
photo keluarga kami lengkap dengan ibu dan
ayah saat kami masih kecil. Aku memeluk Ira dengan pelukkan hangat layaknya
seorang kakak yang teramat merindukan adikknya karena sudah lama tidak bertemu. Disini di Peron tiga
stasiun Jatinegara untuk pertama
kalinya aku bertemu perempuan asing
yang ternyata adik yang kutunggu.
Post a Comment