Archive for 2022-12-18
Isyarat Sebuah Mimpi
Isyarat Sebuah Mimpi
oleh: Gelas.Kaca_
Rumnah mengelus-ngelus perut buncitnya, perempuan yang tengah hamil anak kedua itu dalam dua minggu ini selalu membuat cemas suaminya. Saat malam datang ia selalu mengingau dan berteriak minta tolong. Entah apa yang membuatnya terlihat begitu ketakutan ketika malam datang. Ia seperti dihantui oleh sesuatu yang tidak diketahui itu apa.
Saat Rumnah tidur ia
mengingau dan berteriak minta tolong agar kepada Tuhan-Nya.
Roko suami Rumnah merasa khawatir dengan keadaan istrinya. Ia selalu terbangun tengah
malam ketika harus mendengar teriakan istrinya yang mengingau seperti orang ketakutan akan terjadinya sesuatu yang buruk. Apa mungkin setiap perempuan yang mengandung seperti ini pikirnya. Ini sangat berbeda saat istrinya itu mengandung anak pertamanya.
“Tuhaaaaann, tolong kami.” Seperti itulah teriakan Rumnah setiap malam.
Setelah terbangun Rumnah selalu mengelus perut buncitnya sambil menangis.
“Apa yang membuatmu selalu seperti ini adinda?”
“Aku merasa akan ada yang mengusik kehidupan kita.?”
“Siapa?”
“Entahlah aku merasa dia akan memotong semua tangan manusia.”
“Maksudmu?”
“Aku takut.!”
“Baiklah ceritakan saja besok jika kau sudah tidak takut lagi.”
Dengan pertanyaan dan jawaban yang sama disetiap malam Roko selalu sabar menghadapi
istrinya itu. Hingga saat ini istrinya itu belum menceritakan apa yang membuatnya terlihat begitu ketakutan. Dalam kurun waktu sebulan berturut-turut Rumnah masih saja mengingau dan berteriak minta tolong dalam tidurnya.
Roko telah mengajak istrinya ke berbagai dokter hasilnya tetap sama para dokter menganggap bahwa itu hanya bawaan dari kandungan Rumnah.
Akhirnya
Roko dan istrinya menyimpulkan mungkin ini hanya bawaan dari kandungannya. Ia mulai tidak begitu khawatir karena ia yakin bahwa setelah istrinya melahirkan nanti ia tidak akan berteriak lagi tiap malam.
Ruko mulai bisa tenang untuk melanjutkan aktivitasnya ia berjualan pakaian
bayi di pasar Narawaci. Ia berjualan setiap hari kecuali hari Rabu. Setiap hari Rabu ia pergi ke
hutan untuk pergi berburu bersama teman-temannya.
Saat malam datang Rumnah kembali mengingau kali ini ia berteriak sangat kencang hingga membuat Ruslah anak pertamanya yang baru berumur sepuluh tahun itu ketakutan.
Roko mencoba menenangkan anaknya dan menidurkannya kembali. Saat ia kembali ia melihat istrinya masih menangis ketakutan sambil mengelus perutnya.
“Adinda mimpi apa?” tanya Roko dengan lembut
“Manusia-manusia itu akan mengusir kita dari sini.”
“Manusia siapa?”
“Mereka akan segera mengusir kita dari sini.”
“Mereka siapa? Kenapa diusir? Coba ceritakan adinda mimpi apa?” Roko mencoba membujuk
istrinya
“Kau mau ku ceritakan? Mimpi-mimpiku adalah malam gelap tanpa pancaran sinar bulan dan
bintang”
“Maksudmu? Coba ceritakan saja, aku akan mendengarkannya.”
Sambil menghapus air mata dengan kedua tangannya Romnah mulai menceritakan mimpi-mimpi yang menakutkan itu kepada suaminya. Roko dengan tenang mendengarkan istrinya itu bercerita
“Dalam mimpiku aku bertemu dengan seorang presiden bernama Marlano. Awalnya presiden ini adalah seorang rakyat biasa ia hanya seorang guru di sebuah desa kecil, ia terpilih sebagai presiden karena dicalonkan oleh salah seorang anggota dewan di daerahnya. Berkat kepercayaan masyarakat akhirnya ia terpilih sebagai presiden karena mampu mengayomi rakyat kecil.
Presiden Marlano mempunyai dua orang istri. Istri pertamanya bernama Ratna ia dijuluki sebagai Ratu selendang karena Ratna memiliki semua selendang yang berasal dari berbagai negara.
Hobinya mengoleksi selendang berkembang menjadi bisnis. Hingga akhirnya ia mendirikan satu desa yang khusus untuk menjait selendang desa itu di beri nama desa Ratna. Istri kedua presiden
Marlano bernama Jane ia masih sangat muda dan cantik usianya baru memasuki dua puluh lima tahun.
Jane sangat cerdas ia berhasil manamatkan gelar masternya di usia dua puluh dua tahun tahun.
Dengan predikat terbaik. Jane menikah dengan presiden Marlano karena secara tidak sengaja
bertemu dengan presiden ini di sebuah konfersi international. Dan presiden menawarkan diri untuk Ratna agar menjadi sekretarisnya. Tidak lama setelah menjadi sekretaris presiden mereka saling tertarik satu sama lain hingga akhirnya Jane setuju untuk menjadi istri kedua dari presiden.
Semenjak Presiden Marlano menikah lagi Ratna istri pertamanya merasa tersingkirkan ia mulai iri dengan perlakuan suaminya yang selalu mengistimewakan Jane. Ratna mulai menyusun rencana untuk membunuh istri kedua suaminya itu. Ia menyuruh salah seorang pelayan untuk mencampurkan racun pada minuman istri kedua suaminya itu.
Saat hendak menyuguhkan minum
ternyata pelayan salah memberikan minuman dan minuman beracun itu diberikan kepada
Prediden Marlano. Setelah meminum minuman beracun presiden Marlano langsung pingsan dan tidak sadarkan diri. Sehari setelah meminum racun itu presiden Marlano dinyatakan meninggal.
Seminggu setelah meninggalnya presiden yang baik hati itu akhirnya diadakan rapat paripurna
semua menteri memutuskan untuk mengangkat Jane istri kedua presiden Marlano untuk mengantikan posisinya sebagai presiden di negeri Temape dengan alasan Jane lebih paham tentang tata kelola kenegaraan.
“Apa yang membuatmu takut akan mimpi itu adinda? Bukankah mimpi itu biasa saja tidak ada yang menyeramkan dalam ceritamu.” Roko menatap wajah istrinya dengan penuh tanya.
“Ceritaku belum usai Kanda aku hanya mengingat itu adalah awal dari mimpi burukku ini.”
“Kau lelah Rumnah? Ingin tidur lagi?”
“Oh tentu saja tidak aku ingin menceritakan mimpiku ini padamu hingga selesai aku tidak ingin tidur lagi. sebentar lagi anak kita akan segera lahir aku memiliki ketakutan besar terhadap dia nantinya. Aku merasa mimpi ini adalah sebuah isyarat untuk kita.’
“kalau begitu lanjutkan ceritamu.”
Rumnah melanjutkan ceritanya
Mengetahui keputusan itu Ratna selaku istri pertama presiden Marlano semakin marah ia merasa tidak memiliki tempat di istana kepresidenan ini. Kini Jane dijuluki sebagai Ratu.
Ia memakai
mahkota kepresidenan dan mendapat kehormatan sebagai presiden perempuan pertama.
Keputusan ini membuat Ratu Jane dan Ratna menjadi semakin berselisih paham. Mereka
menghadapi perang dingin. Kekuasaan seperti terbelah dua karena sebagian rakyat ada yang
tidak menyukai Ratu Jane dan lebih memihak kepada Ratna.
Sebagai orang pertama yang mendampingi presiden tentunya Ratna sudah mendapatkan
kepercayaan sekaligus tahu tentang bagaimana kehidupan masyarakatnya selain iyu ia juga memiliki beberapa daerah yang khusus ia kelolah sendiri.
Sekarang semua daerah itu diambil
alih oleh Ratu Jane. Semenjak menjabat Ratu Jane merasa segala kekuasaan dan kebijakan
berada ditangannya. Ia selalu mengambil keputusan tanpa meminta pendapat terhadap para penasihat kepresidenan.
Dengan adanya kebijakan-kebijakan baru dan bergantinya pemimpin tentu ini secara langsung atau tidak juga akan mempengaruhi kehidupan rakyat. Mereka yang dulunya hidup makmur, tenang, damai dan sejahtera sekarang mulai merasa gusar terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh presiden perempuan pertama itu. Tempat tinggal mereka digusur tanpa pemberitahuan dan uang ganti rugi sepeserpun tidak hanya itu ladang tempat mereka mencari
sesuap nasi juga telah dilenyapkan dengan cara memasang spanduk yang bertuliskan “Dilarang
mencari sesuap nasi di wilayah ini” tulisan itu terpampang hampir disetiap tempat pedagang
kaki lima berjualan.
Aset-aset negara juga diperdagangkan oleh ratu Jane ia menjual beberapa pulau dan perusahaan milik negara Temape kepada para pengusaha asing.
Semakin kesini kebijakan yang dibuat oleh Ratu Jane semakin merugikan rakyatnya. Ia hanya berpihak kepada rakyat yang berdompet tebal. Meihat hal itu terjadi Ratna tidak hanya tinggal diam. Tiba-tiba saja ia datang dan mendobrak pintu kamar Ratu Jane kemudian memaki-makinya.
“Kau hentikan semua tingkahmu yang merugikan rakyatku.” Ucap Ratna dengan wajah memerah dan mengepalkan kedua tangannya.
“Kau tidak punya hak mengaturku. Akulah presidennya sedangkan kau bukan siapa-siapa.
Mereka bukan rakyatmu tapi rakyatku. Maka nasib mereka ada di tanganku bukan di tanganmu.”
“Keterlaluan kau. Andai suamiku masih hidup kau pasti akan di hukum penjarakan.”
“Bukankah kau sendiri yang membunuh suamimu perempuan tua?”
“Kau hentikan tindakanmu atau kau ku bunuh.”
“Berani sekali kau mengancamku.”
Ratu Jane langsung berjalan ke arah bel darurat dan membunyikannya kemudian menyuruh para penjaga untuk mengusir Ratna keluar dari istana. Para penjaga itu dengan sangat terpaksa menyuruh Ratna keluar dari kamar kepresidenan dan mengemaskan barang-barangnya yang ada di istana. Selendang-selendang kesayangan Ratna juga dilemparkan dari dalam istana keluar.
Ia tidak menyangka bahwa istri kedua suaminya itu sangat kejam sampai tega mengusirnya keluar dari istana.
Setelah diusir Ratna pergi ke desa yang dulunya adalah desa binaannya. Desa tempat para pengrajin selendang tinggal. Kini desa itu telah dikuasai oleh bangsawan asing. Selendang- selendang miliknya telah berpindah tangan menjadi milik bangsawan itu. Kali ini ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain menyesalkan keadaan.
Ratna mendatangi rumah salah seorang
pengrajin selendangnya dan meminta tumpangan tempat tinggal dirumahnya untuk sementara waktu.
Kehidupan masyarakat pengrajin selendang di desa itu kini nampak memprihatinkan. Upah hasil mereka menjahit selendang hanya cukup untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari. Saat tengah asik berbincang-bincang menceritakan bagaimana keadaan desa itu tiba-tiba saja mata Ratna tertuju pada layar televisi yang menyiarkan berita bahwa telah terjadi penggusuran di pasar Narawaci.
Beberapa pedagang terpaksa menutup lapak dagangan mereka dengan alasan
penertiban. Penertiban pedagang di pasar Narawaci akan berlangsung selama dua hari berturut-turut disebabkan karena para pedagang tidak mau memindahkan lapak dagangan mereka ke lokasi baru yang telah disediakan pemerintah.
Semakin hari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh ratu Jane semakin membuatnya geram. Akhirnya Ratna memutuskan untuk pergi ke pasar Narawaci mencoba untuk menenangkan kerusuhan yang terjadi akibat penertiban.”
“Setelah itu apa yang terjadi?” potong Roko sambil menatap kedua bola mata istrinya
“Aku mendengar teriakan disetiap sudut pasar Narawaci berbunyi “Tuhaaann tolong kami.”
Selalu begitu setiap malam aku mendengar teriakan para pedagang disana berteriak meminta
tolong kepada tuhan. Aku ketakutan mendengar teriakan mereka.”
“Jadi itu yang membuatmu selalu berterian setiap malam dinda?” tanya Roko
“Aku takut.!”
“In sha Allah tidak akan terjadi apa-apa. Jangan begitu kau khawatirkan mimpi-mimpimu itu.”
“Setiap malam aku mimpi yang sama. Ini bukanlah hal yang wajar.”
Roko mengelus kepala istrinya dan ia merasa legah ternyata hanya sebuah mimpi konyol itu
yang membuat istrinya berteriak setiap malam.
Pagi harinya setelah mendengarkan cerita itu dengan tenang ia berangkat menuju tokonya untuk menggelar dagangan. Saat hendak menuju toko di perjalanan ia kaget melihat begitu banyak spanduk yang bertuliskan “kami menolak” bertebaran dimana-mana. Roko merasa heran ia kebingungan apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia penasaran dan memutuskan keluar dari mobilnya. Saat hendak keluar dari mobilnya ia mendengar suara tembakan dari atas langit dan
warga beramai-ramai menyelamatkan dagangan mereka.
Tiba-tiba saja Roko teringat akan tokonya tanpa pikir panjang ia langsung berlari menuju
tokonya. Di perjalanan ternyata akses jalan kesana sudah ditutup ia tidak bisa menuju tokonya.
Perlawanan antara pedagang dan polisi semakin kisruh. Kerusuhan menyebabkan beberapa bangunan rusak dan banyak warga yang luka-luka. Ia mencoba nekat masuk ke dalam kerusuhan itu hingga akhirnya Roko terkena beberapa pukulan dari orang-orang yang tidak ia kenal. Hingga
akhirnya ia dilarikan ke rumah sakit dan terbaring lemah disana.
Genteng Ijo, 2017
Kucing kucing yang kelaparan
Kucing-Kucing yang kelaparan
Oleh: Gelas.Kaca_
Setelah tiga tahun tidak merayakan hari kemenangan bersama keluarga. Lebaran kali ini aku memutuskan untuk mudik ke Ombilin kampung halamanku. Perjalanan untuk menuju kampung kali ini cukup memakan waktu dan tenaga.
Maraknya arus mudik membuat jalanan ramai dan menyebabkan macet panjang. Hingga waktu tempuh di perjalanan menjadi lebih lama. Biasanya aku menempuh perjalanan darat dari Jakarta ke Ombiilin hanya dengan waktu dua hari satu malam tapi kali ini aku menghabiskan waktu selama tiga hari dua malam. Sesampainya di rumah aku di sambut oleh ayah, ibu dan kedua adikku yang masih kecil. Mereka berlarian menuju arahku dan langsung memelukku.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Takbir bergemah hari kemenangan telah datang. Seluruh muslim bersiap untuk sholat ied ke mesjid dan lapangan terdekat. Begitu juga dengan aku dan keluarga. Dengan mengenakan baju seragam keluarga yang di jahit ibu jauh-jauh hari.
Usai melaksanakan Ibadah sholat Ied kami berkunjung ke rumah Atuk. Disana kami menyantap hidangan khas lebaran yakni ketupat dan rendang buatan nenek. Selesai menyantap hidangan lebaran seluruh keluarga berkumpul dan saling bermaaf-maafan.
Lebaran pertama memang dihabiskan untuk bersilaturrahmi dengan keluarga besar saja.
Lebaran kedua tamu mulai berdatangan terutama teman masa kecilku. Upik, Ela dan Nando juga datang bertamu. Aku mengambilkan mereka sirup dan menghidangkan beberapa kue lebaran. Siang itu kami asyik berbicang-bincang hingga memasuki waktu ashar. Kami meminta izin kepada Ibu untuk melaksanakan solat ashar di surau depan danau tempat kami mengaji dulu.
Surau ini nampak sepi jamaahnya pun bisa dihitung jari. Hanya orang-orang lanjut usia yang selalu setia mengisi surau kecil ini.
Setelah selesai solat aku dan teman-teman bersantai dan duduk di batu-batu kecil yang ada di tepi danau. Hampir setiap sudut desa ini berubah. Bahkan pohon-pohon yang setia di tepi danau telah banyak yang di tebangi entah oleh siapa. Kini danau seperti tidak terawat. Banyak sampah-sampah bertumpukan, rumput-rumput yang mulai rimbun di tepi danau. Pasir yang kian surut akibat penambangan liar.
Tepat di depan kami ada sebuah rumah yang dulunya menjadi tempat singgah setelah selesai berenang di danau. Rumah itu adalah rumah mendiang Nyik Minah. Dulu kami sering menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang dengan Nyik Minah setelah selesai berenang. Tidak jarang Nyik Minah memasakkan kami goreng Ubi sekedar untuk mengisi perut yang kosong setelah selesai berenang.
Kini rumah itu sepi, tak ada lagi Nyik Minah yang setia duduk di jenjang nomor dua dari rumahnya. Untuk memperhatikan siapa saja yang mandi di danau dan menyaksikan ombak pasang surut. Setiap sudut rumahnya dipenuhi jaring laba—laba. Semua berubah dalam sekejap. Kami tidak mengetahui kapan pastinya Nyik Minah meninggal. Yang kami dengar dari warga Ia meninggal tiga bulan yang lalu. Mayatnya di temukan pak Malin tergeletak di ruang tamu
“Lan, benar Nyik Minah meninggal di gigit kucing?” Tanya Ela Padaku
“Tidak tau El, aku hanya mendengar kabar angin dari bisik-bisik tetangga.”
“Aku mendengar kabar yang sama Lan, Nyik Minah ditemukan tergeletak di ruang tamunya katanya dia meninggal setelah di gigit si Nuna kucing putih Nyik Minah yang berbulu tebal itu. Lanjut Nando sambil menunjuk ke arah kamar mandi rumah Nyik Minah.
“ah, tidak percaya. Mustahil orang meninggal karena di gigit kucing.” Sambung Upik sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku juga mendengar dari bisik-bisik tetangga kalau setiap malam, di rumah Nyik Minah selalu terdengar suara Nuna si kucing putih itu meraung ganas seperti kucing kelaparan. Lanjut Nando
“Apa mungkin seseorang bisa meninggal hanya karena di gigit kucing? Tidak mungkin Nyik Minah meninggal karena di gigit kucing.” Upik berusaha menyelah dan tetap tidak percaya dengan apa yang dikatakan Nando.
Lama berbincang-bincang dan mengingat masa kecil. Akhirnya kami disadarkan oleh langit yang mulai gelap. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing dan merencanakan pertemuan selanjutnya. Aku dan Nando masih penasaran dengan kematian Nyik Minah yang cukup misterius dan bisik-bisik tetangga tentang kamar mandinya. Dalam perjalanan pulang Nando mengajakku untuk bertemu nanti malam di tepi danau sambil memancing ikan. Dia akan menjemputku sekitar jam delapan malam ke rumah.
Sesampainya di rumah aku membersikan badan dilanjutkan dengan sholat magrib. Ini untuk pertama kalinya dari dua tahun yang lalu aku berkumpul bersama keluarga untuk melaksanakan ibadah solat magrib berjamaah. Suasana seperti ini yang selalu ku rindui dimana suara merdu ayah melantunkan ayat-ayat suci menjadi penutup senja.
Selesai sholat kami berkumpul sekeluarga untuk menyantap hidangan makan malam. Ibu memasak lauk kesukaanku dendeng batokok dan gulai asam padeh. Masakan Ibu selalu menjadi juara di lidahku tidak ada yang mampu menandingi enaknya masakkan ibu. Karena bahagia dengan menu makan malam hari ini tanpa di sadari aku telah menghabiskan hampir tiga piring nasi.
“Tidak rindu mandi di danau Lan?” Ayah membuka pembicaraan makan malam hari ini
“Rindu Ayah, tapi danau sekarang kumuh.”
“Karena tidak ada lagi yang peduli akan kebersihan lingkungan, apalagi danau. Semenjak kematian Nyik Minah yang cukup misterius itu.”
“Benarkah Nyik Minah meninggal karena di gigit kucing yah?”
“Benar, Nyik Minah telah di makan oleh kucing yang kelaparan itu. Kakinya habis di lahap oleh kucing yang di ketuai oleh Nuna itu.”
“Berapa banyak kucing yang memakan Nyik Minah yah?”
“Kata pak Malin lebih dari sepuluh dan Nuna yang paling besar di antara kucing lainnya. Kabarnya kucing-kucing itu masih berkeliaran di kampung ini.”
“Mmmmmppp, apa mungkin kucing kelaparan bisa memakan manusia?”
“Ayah tidak tau pasti tapi begitulah gosip yang beredar. Kau lihat saja dirimu tanpa disadari sudah hampir tiga piring nasi masuk ke mulutmu.” Kata ayah sambil tersenyum menatap piringku
"Ini karena masakkan ibu selalu yang terbaik." balasku sambil melirik ke arah Ibu
"Malam ini Bulan ingin memancing di danau bersama kawan-kawan lainnya. Ayah mengizinkan Bulan untuk memancingkan?"
"Jangan pulang terlalu larut, jangan tunggu kucing-kucing kelaparan itu mandi dan berkeliaran mencari mangsa." ucap ayah sambil memperingatkanku
"Baik Ayah."
*
Tiga puluh menit kemudian aku mendengar suara Nando memanggilku di luar rumah. Aku melihat nando dan lima orang kawanku berdiri halaman rumah sambil membawa pancing.
Kami memutuskan untuk memancing di bawah pohon kelapa yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah mendiang Nyik Minah. Kami menyaksikan suasana danau malam ini. Ku perhatikan tiap tepian danau ini. Deburan ombaknya masih sama seperti dulu selalu bising dan menghantam bebatuan di tepinya. Sesekali aku menoleh ke arah rumah Nyik Minah. Tapi tidak ku temukan tanda-tanda adanya kucing di dalam rumah itu.
Nando dan kawanku yang lainnya asik berebut umpan. Sementara belum ada ikan yang tersangkut di umpan kami.
Braaakkk!!! Suara kelapa jatuh mengagetkan kami
Tiba-tiba saja seekor kucing melompat dari belakang kami dan meraum kepada kami semua. Kucing ini sepertinya memang sedang kelaparan. Nando dengan spontan melemparkan tiga potong roti kepada kucing itu. Namun sepertinya kucing itu tidak tertarik dengan roti yang di lempar Nando. Selama hampir lima menit kucing itu meraum di depan kami. Akhirnya dia pergi dan berlari ke arah rumah Nyik Minah yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami memancing.
"Kita pulang yuk, itu sepertinya kucing yang telah membunuh Nyik Minah." kata Upik
"Tidak mungkin kucing memakan manusia." celah Nando
"Yasudah Nan kalau begitu kami pulang duluan. Kami takut." Ucap Ela sambil mengajak Upik dan kawan-kawan lainnya pulang.
"kamu mau ikut pulang Lan? " kata Nando padaku
"Tidak. Aku ingin melihat kucing-kucing itu."
"Baiklah. Kalau begitu kami pamit. Kalian hati-hati."
Setelah semuanya berpamitan tinggallah aku dan Nando berdua. Di bawah pohon kelapa dan menghadap ke arah rumah Nyik Minah. Sebenarnya kami berdua sangat ketakutan. Tapi rasa penasaran mendorong kami untuk bertahan disini.
Kucing-kucing itu tidak mungkin memakan Nyik Minah. Mana mungkin orang sebaik Nyik Minah dihabisi oleh kucing-kucing yang ia beri makan setiap harinya. Apalagi Nuna si kucing putih gemuk itu sudah di rawat Nyik Minah dari kecil. Kata Nando meyakinkanku
"Lalu kenapa Nyik Minah meninggal?
"Mungkin karena sakit, terjatuh atau di bunuh."
"Siapa yang tega membunuh Nyik Minah? Lalu kenapa kakinya seperti di lahap binatang.
Dengan langkah yang sedikit gemetar mengikuti Nando dari belakang dan berjalan menuju rumah Nyik Minah untum mengintai kucing-kucing itu.
Langit kian hitam burung-burung menampakkan wajah suramnya. Saat itu bintang tak setia menemani bulan. Langit tampak sunyi. Suara jangkrik mulai berlomba dengan deburan ombak di danau. Suasana kian suram. Saat jam sudah menunjukkan tengah malam. Terdengar suara piring bergesekan di dalam rumah Nyik Minah. Tapi kami tidak melihat seekor kucing pun seperti yang telah di katakan warga.
Aku dan Nando semakin penasaran dan mengintip dapur yang ada di belakang rumah Nyik Minah. Kami melihat bayangan seekor kucing sedang tertidur di lantai dapur Nyik Minah. Dan ada bayangan manusia sedang berjalan menuju kamar mandi. Pikiranku mulai nelayang ke mendiang Nyik Minah.
Mungkinkah itu arwah orang yang telah meninggal atau hanya halusinasi saja. Nando semakin penasaran dan yakin sekali bahwa bayangan yang Ia lihat tadi adalah manusia. Bukan arwah Nyik Minah. Aku berjalan di belakang Nando dan mengikuti langkah kakinya tanpa membuka mata.
Betapa kagetnya kami saat Nando membuka pintu dapur Nyik Minah. Ternyata ada Pak Malin dan seekor kucing yang bernama Nuna di dalam rumah tersebut.
"Eh kalian. Bocah bocah kecil. Mau apa kesini?" dengan wajah santai pak Malin berucap pada kami
"Jadi dimana para kucing-kucing itu pak? Ucap Nando
"hahahaa, tidak ada kucing kelaparan. Yang ada hanya aku yang butuh kucing dan rumah ini untuk di jadikan tempat tinggal tetapku. Dia tidak mau memberikn rumah ini padaku maka dari itu aku bersepakat dengan kucing-kucing di jalanan setelah membunuh Nyik Minah aku akan membagikan sedikit dagingnya kepada mereka."
Seperti yang aku ketahui Nyij Minah dan pak Malin adalah kakak beradik yang jarang sekali akur. Dan si Nuna kucing malang yang telah di kambing hitamkan pak Malin kini terkulai layuh di dapur karena telah berhari-hari tidak di beri makan.
AYAH DAN LONCENG TENGAH MALAM
Oleh: Rani H.A
Teng.. Teng, Teng..
Suara lonceng yang berasal dari jam dinding rumah tetangga itu selalu membuatku terjaga tengah malam. Bagaimana tidak lonceng itu berbunyi setiap tengah malam dengan sangat keras.
Lonceng jam dinding itu membuatku takut suaranya mampu menembus jendela kamar hingga bergetar. Beberapa hari ini aku tidak bisa tidur karena suara lonceng itu. Hari ini aku memutuskan untuk menghampiri ibu ke kamarnya dengan tujuan agar bisa tidur bersama ibu.
Aku mengetuk pintu kamar ibu hanya dengan satu ketukan tak lama setelah itu ibu membuka pintu kamarnya dan menyuruhku membaringkan badan di ranjang miliknya. Ia memintaku tidur di ranjangnya yang sebelah kanan yang selama berbulan-bulan tidak ada yang menemapatinya setelah kepergian bapak.
Setelah itu wanita paruh bayah yang hatinya masih terisis semenjak kepergian suaminya itu melanjutkan ritual sebelum tidur yaitu menyisir rambut putihnya yang panjang hingga berkali-kali.
Selesai dengan ritualnya ibu menghampiriku ke tempat tidur dan mengelus kepalaku. Aku memperhatikan wajah ibu yang tampak sudah tak muda lagi. Ibu juga hampir kehilangan senyumnya semenjak kepergian bapak. Beliau yang biasanya selalu tersenyum dan terkesan cerewet kini berubah menjadi ibu yang pendiam lengkap dengan wajah datarnya tapi aku memaklumi sikap ibu yang seperti itu mungkin karena kepergian Bapak yang masih menjadi misteri.
“Tidurlah nak, pagi akan segera datang.” Ucap Ibu sambil mengelus kepalaku.
“Sejak kapan tetangga kita punya lonceng itu bu.?”
“Entalah ibu tidak tahu. Mari kita tidur Karla bunyi lonceng itu sudah tidak ada.” Ucap Ibu sambil menarik selimut dan terus mengelus kepalaku hingga terlelap.
Dalam tidurku aku bermimpi bertemu ayah. Wajahnya pucat kedua mata ayah memerah seperti seluruh darah dalam tubuh ayah berkumpul pada matanya. Ia berjalan pelan menuju rumah sedang aku menunggunya di jenjang depan rumah. Awalnya aku tak percaya bahwa yang aku lihat dari kejauhan itu adalah ayahku. Ku perhatikan lelaki itu dengan seksama badannya yang tegap, bahu ayah yang lebar, rambut pendek ayah yang mulai memutih dan cara jalannya yang tegak aku yakin lelaki itu adalah ayahku. Ia melangkah dengan perlahan seperti orang kelelahan setelah berlari sangat jauh. Semakin dekat aku semakin yakin bahwa itu adalah ayah. Aku melemparkan senyum kepada lelaki itu dari jenjang rumah.
Saat Ia melangkah menuju rumah aku melihat ia membawa sesuatu di tangannya. Ayah mengenggam benda itu dengan sangat erat pada tangan kanannya. Benda itu kecil berwarna hitam. Seperti tak tega melihat ayah berjalan dengan kondisi badan yang sangat lemah. Aku berlari menghampiri ayah. Namun saat aku hampir sampai di hadapan ayah. Ibu membangunkanku
“Karla bangun sudah waktunya subuh.”
Seakan aku tak ingin mendengarkan ibu aku menarik selimutku kembali dan membungkus badanku.
“Karla bangun solat subuh.!” Kali ini ibu berhasil membangunkanku dengan suara tegasnya. Aku langsung membuka mata kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan badan dan bersiap-siap menunaikan ibadah solat subuh.
Setelah selesai menunaikan solat subuh. Aku kembali ke tempat tidur rasanya aku ingin mengulang mimpiku bertemu dengan ayah. Lelaki itu berada dimana sekarang? Aku yakin ayah masih hidup. Apa benda yang di genggam ayah pada tangan kanannya itu. Mengapa sampai saat ini ayah tak kunjung pulang. Pertanyaan-pertanyaan itu kembali menghantuiku setelah beberapa minggu ini aku mencoba melupakan ayah. Namun mimpi tadi menarikku untuk mencari tahu ayah sedang berada dimana. Mengapa dalam mimpiku ayah begitu pucat lalu benda apa yang digenggam ayah pada tangan kanannya.
Aku tidak berniat menceritakan mimpiku ini kepada ibu. Aku takut membuat ibu semakin bersedih dan kehilangan senyumnya yang hanya tersisa sedikit.
Malam kembali datang. Aku mencoba memberanikan diri untuk tidur di kamarku. Berharap suara lonceng yang mengangguku beberapa malam ini tidak ada lagi. Namun setelah beberapa jam aku mencoba memejamkan mata. Hingga jarum jam dinding menunjukkan pukul setengah dua belas mataku tak kunjung terpejam jantungku berdetak kian kencang. Sepertinya malam ini bunyi lonceng itu akan meruntuhkan jendela kamarku. Jam berputar kian cepat dan aku semakin tidak bisa bernapas. Dadaku sesak aku mendengar suara lonceng itu berbunyi sangat kencang. Jendala kamarku bergetar dengan sangat kencang. Kali ini lonceng itu berbunyi tidak hanya dengan tiga kali ketukkan melainkan berkali-kali dan terus berulang-ulang. Aku berteriak dan memanggil-manggil ayah.
“Ayah, ayah, ayah.” Suara teriakkanku membuat ibu terbangun
“Ayahmu dimana.?” Saut ibu dengan tiba-tiba sambil berlari masuk ke kamarku dan langsung memelukku.
Aku tediam di pelukkan ibu. Seluruh badanku mendingin dan pucat kali ini ibu tidak membiarkanku tidur sendirian di kamar ibu ikut tidur bersamaku. Meski ibu tidur disampingku malam itu mataku tetap tidak bisa terlelap.
Aku masih takut namun juga penasaran. Bukankah lonceng jam dinding akan berbunyi setiap jam bukan hanya setiap dua belas malam, Mengapa suara lonceng itu mampu membuat jendela kamarku retak. Apa benar suara aneh itu adalah lonceng jam dinding.
Rasa takut yang tadinya sangat menghantui perlahan hilang terbawa berjuta pertanyaan di kepala. Aku menoleh pada jam dinding di kamarku, dua lebih lima menit. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela kemudian membuka tirai ku perhatikan kaca yang retak karena suara lonceng yang teramat keras itu. Tiba-tiba saja aku ingin keluar sebentar melihat apakah ada kaca lain yang retak selain kaca jendelaku. Jika kaca jendelaku saja retak lalu bagaimana dengan rumah warga yang lainnya apakah kaca rumah warga yang lainnya juga retak. Bagaimana dengan rumah yang didalamnya berisikan jam dinding dengan lonceng aneh itu.
Pertanyaan-pertanyaan aneh mulai menghantuiku. Kali ini aku ingin melawan rasa takut itu. Aku ingin tahu sebenarnya lonceng seperti apa yang berbunyi setiap jam dua belas malam itu. Apakah benar seperti yang dikatakan orang-orang sekitarku bahwa itu adalah jam dinding keramat. Lalu siapa yang tinggal di rumah sebelah itu. Selama berbulan-bulan aku tidak pernah melihat ada orang yang menempati rumah itu namun anehnya rumah itu selalu bersih dan pada siang hari tirai jendela rumah itu selalu terbuka. Begitu juga pada malam hari seluruh lampu disekitar rumah itu bersinar terang.
Malam itu aku mencoba memberanikan diri untuk berjalan keluar rumah sekedar ingin melihat apakah ada kaca lainnya yang retak karena bunyi lonceng itu atau semua ini hanya imajinasiku. Seakan tidak masuk akal jika kaca jendela rumahku retak hanya karena bunyi lonceng jam dinding. Semua rasa takutku hilang dimakan oleh rasa penasaran.
Aku mengelilingin seluruh rumahku.
Memeriksa semua jendela sekedar ingin memastikan apakah ada jendela rumahku yang ikut retak seperti yang terjadi pada jendela kamarku. Namun tidak ada sama sekali jendela yang retak ataupun pecah. Semua biasa saja. Tiba-tiba saja aku ingin keluar sebentar melihat suasana diluar apakah warga ikut terbangun karena suara lonceng misterius itu atau malah sebaliknya. Rasanya mustahil jika tidak ada warga terganggu dengan suara lonceng yang begitu keras.
Sesampainya diluar aku melihat kesunyian dan tidak ada satupun manusia di luar. Hanya kemilau lampu yang sangat ramai. Aku merasa aneh apa mungkin hanya aku yang mendengarkan suara lonceng aneh itu mustahil rasanya jika tidak ada warga yang terganggu karena suara keras yang menyeramkan itu. akhirnya aku memutuskan untuk berbalik badan dan kembali masuk ke dalam rumah, namun saat aku hendak menutup pintu rumah dari kejauhan aku melihat bayangan seorang lelaki berjalan perlahan ke arah rumahku.
Aku menatap lelaki itu dengan seksama dia tampak seperti sosok ayah. Dia datang persis seperti ayah yang berada dalam mimpiku tadi malam. Namun aku belum bisa begitu percaya ku perhatikan lagi seseorang itu langkahnya semakin dekat dan aku seperti tak percaya bahwa lelaki yang berjalan perlahan menuju rumah itu adalah ayahku. Aku berlari menuju ayah dan langsung memuluknya. Namun saat aku memeluk ayah aku menemukan tangan dan leher ayah penuh dengan darah. Ayah seperti telah dihabisi oleh komplotan penjahat.
“Ayah.!” Aku tidak dapat berkata apa-apa.
Mulutku seakan terkunci perasaanku semakin tak menentu. Aku bahagia ayah telah kembali namun aku tidak akan pernah bisa melihat ayah terluka seperti saat sekarang ini. seakan tak ingin melepaskan pelukkanku pada ayah.
Aku terus memeluk ayah tanpa peduli akan tangisku yang begitu keras. Setelah beberapa saat ayah menarik bahuku dan menatap kedua bola mataku dengan sangat dalam.
Ayah hanya berkata
“Ikhlaskan!” lalu memberiku sebuah lonceng kecil berwarna hitam yang semalam lonceng itu juga hadir dalam mimpiku.
“Benda apa ini yah?”
“Jadikan benda itu sebagai peluru untuk melawan rasa takutmu. “
“Lonceng?”
“Iya gunakan lonceng ini untuk melawan rasa takutmu nak. Di dunia ini tidak ada yang perlu kau takuti kecuali sang pemilik hati.” Ucap ayah sambil membalikkan badan.
“ayah hendak kemana.?”
Lelaki yang sangat aku rindukan itu membalikkan badannya dan berjalan meninggalkanku.
Tanpa ku sadari waktu berjalan dengan cepat suara kokokkan ayam mulai terdengar. Suara-suara penyejuk dari mesjid mulai terdengar. Aku kembali masuk ke rumah dan berharap ibu belum bangun dari tidurnya. Aku tak ingin ibu mengetahui apa yang telah ku alami malam ini.
Sesampainya dikamar ternyata ibu belum terbangun dari tidurnya aku langsung membaringkan badan disampingnya.
Malam itu aku tidak tertidur dan sepertinya ibu tidak menyadarinya. Aku menyembunyi lonceng hitam kecil pemberian ayah dalam saku bajuku. Setelah ibu bangun dan beranjak dari kamarku aku mengeluarkan benda pemberian ayah itu. keningku berkerut dibuatnya. Sebenarnya apa maksud ayah memberiku lonceng kecil hitam ini. Apa kaitan lonceng ini dengan rasa takut yang aku alami saat ini.
Mungkinkah lonceng yang diberikan ayah adalah lonceng yang berbunyi di setiap tengah malam itu. namun mustahil rasanya jika lonceng kecil ini mampu membuat kaca jendela kamarku retak dengan suara keras yang dihasilkannya. Aku masih berpikir-pikir untuk apa ayah memberiku lonceng kecil ini.
Pada siang harinya aku mencoba memainkan lonceng itu. suara loncengnya tidak begitu keras bahkan sangat kecil sesuai dengan ukurannya yang hanya segenggaman tangan saja.
Saat tengah asik memainkan lonceng dari ayah tiba-tiba sajaa ibu menghampiriku dan berkata,
“Benda apa itu nak. Apa yang kau lakukan dengan benda itu?”
Dengan berat hati terpaksa aku mengatakan apa yang sedang aku lakukan dengan benda ini kepada ibu. Walau sebenarnya aku benci harus mengatakannya kepada ibuku sendiri.
“Ini hanya sebuah lonceng mainan pemberian temanku bu.” Tiba-tiba saja mulutku dengan seenaknya saja berbohong mengatakan bahwa lonceng itu pemberian temanku bukan pemberian ayah yang datang menghampiriku tadi malam.
“Siapa temanmu itu.?
“Bukan siapa-siapa bu. Ia hanya seorang teman sekolah.”
“Sepertinya lonceng kecil yang hitam ini sudah taka sing lagi dimata ibu.”
“Benarkah bu.? Jantungku berdesir seketika ibu mengatakan hal tersebut. Mungkinkah ibu mengetahui bahwa lonceng ini adalah pemberian ayah.
“Kau jaga baik-baik lonceng ini dan jangan dimainkan ketika matahari tenggelam.”
“Baik bu.”
Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan ibu. Mengapa aku harus berhenti memainkan lonceng ini ketika matahari tenggelam. Mungkinkah lonceng kecil ini memiliki kekuataan. Tetapi tadi malam saat memberikan lonceng ini ayah tidak berpesan apa-apa kepadaku mengenai lonceng ini.
Perlahan matahari mulai terbenam langit pun berubah menjadi hitam dan bulan mulai menampakkan dirinya, malam ini aku tidak merasa ketakutan seperti malam sebelumnya. Justru aku menunggu suara lonceng itu berbunyi dan ingin melihat apakah ada warga yang terganggu dengan suara yang sangat keras itu. Semua semakin tidak masuk di logika ku ketika kaca jendelaku retak karena suara keras lonceng itu. Jika memang suaranya sangat keras mustahil saja jika tidak ada warga yang terganggu.
Aku duduk di jenjang rumah sambil memegang lonceng kecil pemberian ayah. Rasanya ingin sekali aku memainkan lonceng itu. hanya saja aku takut jika ibu mengetahuinya. Aku menikmati angin malam yang dingin sambil menatap lonceng itu. sebenarnya tanganku sudah gatal sekali untuk ingin memainkan lonceng itu. denting suaranya yang kecil membuatku sulit untuk tidak memainkannya.
Melihat lonceng itu seperti aku melihat ayahku.
Aku seperti berada dalam dekapan ayah seperti saat semalam aku memeluk ayah dengan sangat erat. Secara tidak sengaja aku memainkan lonceng itu di jenjang depan rumah tanpa sepengetahuan ibu. Aku asik bermain hingga ibu menghampiriku dan mengambil lonceng itu dari tanganku.
“Jangan mainkan lonceng ini Karla.” Ucap ibu dengan tegas
Aku ketakutan melihat wajah ibu yang begitu serius ketika mengambil lonceng itu dari tanganku.
“Maafkan aku bu.”
“Ibu akan memberikan lonceng ini lagi jika kau benar-benar berjanji untuk tidak memainkannya di malam hari.”
“Kenapa aku tidak boleh memainkan lonceng ini saat malam bu.?”
“Setiap bunyi lonceng ini adalah tanda panggilan kepada siapa saja nanti kau mengundang orang ramai ke rumah ini.”
Aku semakin tidak paham dengan apa yang ibu katakan. Namun aku hanya mengangguk saja dan membuat janji kepada ibu bahwa aku tidak akan memainkan lonceng itu lagi saat malam hari.
Lalu ibu pergi meninggalkanku di jenjang depan rumah dan aku masih terdiam dengan banyak pertanyaan yang manghantui kepalaku. Bukankah lonceng kecil ini hanyalah sebuah mainan dan suaranya tidak seperti lonceng yang setiap malam selalu membuatku ketakutan itu. sebenarnya ada apa dengan lonceng ini dan mengapa malam ini ayah tidak datang menghampiriku.
Jarum jam menunjukan jam sepuluh lebih tiga puluh dua menit. Aku memutuskan untuk berbalik badan dan memasuki rumah. Namun saat aku hendak membailikkan badan aku membunyikan sekali saja dentingan lonceng kecil pemberian ayah kali ini bunyinya membuatku tersenyum dan rinduku pada ayah sedikit terobati. Saat itu aku berharap ibu tidak mengetahuinya bahwa lonceng kecil itu aku bunyikan lagi.
Aku masuk ke rumah langsung menuju kamar. Saat hendak tertidur aku memeriksa seluruh jendela berharap nanti malam kacaku tak jadi pecah karena suara lonceng dari rumah sebelah yang sangat keras itu. setelah selesai memeriksa semuanya aku membaringkan badan di tempat tidur lalu memejamkan mata dengan tenang sambil mengenggam lonceng kecil pemberian ayah semalam.
Saat terbangun aku mengira bahwa sudah larut dan lonceng itu akan segera berbunyi . aku menatap ke arah jam dinding ternyata jarum jamnya sudah menunjukan pukul empat lebih empat puluh lima menit. Aku menatap sekitar kamarku memastikan bahwa tidak ada hal aneh yang terjadi tadi malam. Aku memeriksa jendela kamarku tidak ada hal aneh apapun yang terjadi mungkin lonceng tetangga itu telah berhenti berbunyi atau mungkin saja rusak pikirku. Aku begitu bahagia hari itu karena pada harinya aku dapat terlelap dengan nyanyak tanpa ada gangguan dari suara lonceng itu.
Matahari kian meninggi dan aku melihat sekumpulan warga mengerumuni rumah tetangga yang di dalamnya memiliki lonceng jam dinding itu. mungkin para warga mengucapkan terima kasih kepada pemilik rumah bahwa malam ini mereka telah tertidur pulas tanpa ada gangguan dari lonceng tersebut. Semakin siang aku melihat semakin banyak warga yang mendatangi rumah itu. satt itu juga aku sadar bahwa ibu dari pagi tidak ada dirumah mungkin ibu juga ikut serta dalam kerumunan orang-orang itu.
Penasaran dengan apa yang dilakukan warga di rumah sebelah aku memutuskan untuk melihat kejadian apa yang terjadi disana. Sesampainya di rumah tersebut. Aku melihat warga sibuk berjalan kesana kemari. Aku juga melihat ada beberapa orang polisi di dalam rumah itu. Hanya beberapa warga saja yang diizinkan masuk ke dalamnya. Dari kejauhan aku melihat ibu berada di dalamnya segera aku berlari menyusul ibu masuk ke dalam rumah itu.
Aku melihat ibu menagis memuluk mayat yang berada di depannya. Aku heran mengapa ibu menangis seperti orang kesurupan. Seperti yang diratapinya itu adalah keluarga kami. Saat aku mendekati ibu. Wanita paruh baya itu langsung memelukku dan berkata,
“lonceng itu yang membunuh ayahmu.” Ucap ibu sambil membuka kain penutup wajah ayah.
Seluruh tubuhku kaku, ruangan terasa hampa dan hening. Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Pare, 18 november 2017
Tembang Tengah Malam
Tembang Tengah Malam
Malam ini udara teramat dingin. Hujan tak kunjung reda semenjak tadi sore. Bising suara hujan dan hembusan angin menganggu tidurku. Malam semakin suram ketika Mbah sami mulai menyanyikan tembang jawa kesukaannya. Judul tembang jawa itu “Lingsir Wengi”. Setiap malam aku tidak bisa tidur nyenyak karena suara Mbah Sami cukup keras. Ini cukup mengangguku hingga akhirnya aku memutuskan untuk berjalan ke kamar Mbah Sami.
“Punten* Mbah, Ira boleh masuk?
“Masuk.”
“Ada apa Ra?
“Punten. Ini sudah larut tolong kecilkan suara music dan suara nyanyian Mbah.“
“Aku ingin mengenang Mbah kakung mu ndok’
“Mbah kakung udah tenang disisi yang kuasa.”
“Diam! Kalau tidak suka tutup saja telingamu kemudian tidur.’
Aku terdiam kemudian berlalu dan meninggalkan kamar Mbah Sami. Malam semakin larut. Mbah sami juga makin tenggelam dalam tembang tengah malamnya.
Mbah sami merupakan ibu dari ayahku. Kami tinggal bersama semenjak Mbah Kojo meninggal dua bulan yang lalu. Ayah memutuskan untuk mengajak Mbah Sami tinggal bersama kami. Namun semenjak kedatangan Mbah Sami aku merasa ada yang aneh dengannya. Dia tidak seperti biasanya. Dulu mbah sami begitu ramah terhadap siapapun. Apalagi keluarganya sendiri. Tiga bulan sekali Mbah sami selalu berkunjung ke rumah kami. Dan saat itu mbah sami selalu membuatkan ku secangkir teh panas dan menghidangkan beberapa roti untuk sarapan, begitu juga saat sebelum tidur Mbah Sami selalu membacakan dongeng-dongeng lucu dimana cerita itu hanya aku dan Mbah Sami yang tahu. Namun semenjak kematian suaminya sikap mbah sami berubah total. Ia menjadi pendiam dan tertutup kepada siapa saja. Termasuk ayah. Anak tunggalnya.
Kematian mbah kakung seolah menjadikan hidup Mbah Sami menjadi suram. Ia merasa asing, sepi dan sendiri. Tembang tengah malam selalu jadi penghiburnya. Mbah merasa tidak mempunyai teman untuk berbagi cerita. Ia lupa padahal kami yang selalu setia menemani, merawatnya dan mendengarkan segala isi hatinya. Mungkin karena mbah sami dan ayah tidak pernah tinggal serumah semenjak ayah masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Masa kecil ayah habiskan di desa paman Yatso.
Siang itu aku dan ayah asik bercerita di depan teras rumah. Ayah menceritakan masa kecil yang ia habiskan di desa kecil ini. Hanya saja ayah sedikit menyesal sewaktu paman yatso memaksa untuk tinggal bersamanya dengan alasan pendidikan. Sekolah lebih dekat dari rumah paman Yatso dibandingkan dengan rumah Mbah Sami. Ayah harus melintasi sungai dan berjalan kaki sejauh tiga kilometer. Namun ketika ia telah tinggal bersama Mbah Sami malah ayah dan mbah Sami tidak begitu dekat. Mungkim karena ayah tidak sepenuhnya menghabiskan masa keci bersama kedua orang tuanya itu.
“Nak, coba dekatkan dirimu seperti dulu lagi kepada mbah putrimu, mbahmu sepertinya sangat terpukul dengan kepergian mbah kakung yang terkesan mendadak.’
“aku sudah mencobanya ayah, tapi mbah selalu bersikap dingin. Semenjak kepergian mbah kakung.”
ayah kemudian bergumam dan berkata “Lingsir Wengi.”
“judul tembang yang tiap malam di nyanyian mbah.”
“kau benar.”
“Lalu?”
“Tembang itu.. (ayah menghentikan ucapkannya dan terdiam lalu menatap ke arah pohon jambu yang tepat berada di depan rumah.)
“Kenapa ayah? Ada apa dengan tembang itu? Aku merasa ada yang aneh dari tembang jawa itu. Apakah benar itu tembang kesukaan Mbah Kakung?
“Kau banyak bertanya Ra.” Kemudian ayah pergi dan meninggalkan ku sendiri di teras rumah.
Ayah selalu seperti itu menghindari pertanyaan-pertanyaan yang beruntun dan terkesan memaksa. Ayah bukanlah seorang yang suka berdebat panjang dan menjawab seluruh pertanyaanku. Bahkan waktu ini adalah waktu yang langka dimana ayah dan aku duduk berdua dan ayah menceritakan masa kecilnya. Ayah tidak pernah seperti ini sebelumnya.
“Sedang apa kau Ndok?” tiba-tiba saja suara Mbah Sami terdengar nyaring dan begitu lembut di telingaku. Kemudian Mbah Sami duduk di tepat di kursi yang tadi di dudukki ayah. Jip Mbah."
“Di desa ini ayah mu tumbuh menjadi lelaki yang kuat. Dia hidup terpisah dari kami saat usianya baru memasuki tiga belas tahun.”
“Hatur sembah*, Mbah. Ira boleh bertanya?”
“Apa itu Ndok?”
“Mmmmp.. tentang tembang jawa ituu…” lidahku terhenti seakan kaku untuk menanyakan perihal nyanyian tengah malam itu.
“Mbah sudah bilang itu tembang kesukaan Mbah Kakungmu.” Jawab Mbah Sumi dengan nada yang cukup tinggi kemudian ia pergi meninggalkan ku menuju kamarnya. Sesampainya di kamar Mbah Sumi menyalakan CD dan memutar musik sebagai pengiringnya bernyanyi.
Lingsir wengi
Sepi durung biso nendro
Kagodho mring wewayang
Kang ngreridhu ati
Kawitane*
Tembang itu seakan menyeret seluruh jiwa Mbah Sami untuk masuk ke dalam dunia yang berbeda. Semenjak aku sering menanyakan tentang lirik itu kepada Mbah Sami. Beliau sepertinya semakin terpukul dan selalu dihantui bayangan Mbah Kakung. Tapi kali ini Mbah Sami tidak lagi menyanyikan tembang itu tengah malam. Hampir tiap hari pagi, sore dan tengah malam Mbah Sami larut dengan tembangnya .
Hingga akhirnya warga mulai merasa risih dengan nyanyian itu.
“Ra, Mbah mu masih waras? Tiap menit selalu menyanyikan tembang tengah malam?” Ucap temanku Karyo.
“Mbahku waras! Mbah Sami hanya rindu Mbah Kakungku!
“Tapi warga merasa risih. Nyanyian itu menyeramkan.”
Aku mengerti mengapa mereka mengatakan Mbah Sami tidak waras. Mbah Sami bernyanyi hampir tak mengenal waktu.“
Malam kembali datang dan Mbah Sami makin larut dengan tembangnya. Ia seperti sudah tak ingin mengenal apapun selain Lingsir Wengi. Saat Mbah Sami tengah asik berdendang dengan tembangnya. Tiba-tiba saja beberapa warga mengetuk pintu rumah.
“Kami sudah tidak bisa membiarkan Ibu mu tinggal di desa ini lagi, dia telah menganggu kenyamanan warga.” Ucap salah satu warga sambil menunjuk ke wajah Ayah.
“Punten, ini kenapa? Ada apa dengan Ibu saya?” Jawab bapak pelan.
“Ibu mu telah menganggu kenyamanan warga, tembang itu membuat kami tidak bisa istirahat.”
Terjadi kegaduhan di depan rumahku. Warga dan ayah beradu pendapat. Namun Mbah Sami masih tetap larut dengan tembangnya. Ia seakan tidak peduli dengan kegaduhan yang disebakan olehnya.
###
Angin memaksaku untuk tetap berdiam di rumah. Ia menerbangkam daun-daun dan meruntuhkan pohon-pohon tumbang. Beberapa hari ini angin kencang sering menghampiri desa kami. Hanya sedikit penduduk yang berani keluar rumah sekedar untuk membeli makanan atau kebutuhan lainnya. Mbah Sami masih tetap sama. Menyanyikan tembangnya dengan keras dan merdu. Meski telah di tegur warga ia seakan tidak peduli dengan itu.
Warga menganggap angin kencang ini di sebabkan oleh tembang Mbah Sami. Mbah ku di anggap sebagai pembawa bencana bagi penduduk desa Kembang.
"Pak Suryo. Ibumu sudah gila." Ucap pak rt yang tiba-tiba saja bertamu ke rumahku.
"Maksud Bapak? Ibu saya waras dan masih sehat."
"Ah, ibumu mungkin telah di kutuk. Lihat dia tidak bisa berhenti menyanyikan tembang yang menyeramkan itu."
"Tidak. Ibu tidak dikutuk. Dia hanya menghibur diri."
"Ibu pak Suryo telah membuat warga risih. Lihat cuaca belakang ini tidak menentu. Bisa jadi ini karena kutukan dari ibumu."
"Wah.. Wah.. Wahh. Kalau masalah warga terganggu dengan tembang Ibu saya masih bisa terima. Tapi dengan cuaca ataupun angin-angin itu ibu saya tidak ada hubungannya."
"Tolonglah pak Suryo hentikan Ibu mu bernyanyi, ini menganggu. Jika Mbah Sami tidak berhenti bernyanyi sampai besok saya akan mengusir Mbah Sami dari desa ini."
Keesokan harinya Mbah Sami masih tetap bernyanyi dengan tenang di kamarnya. Cuaca masih sama dengan kemarin. Angin kencang itu memaksa pohon-pohon untuk menggugurkan daunnya walau belum waktunya mereka gugur. Beberapa warga datang bersama pak rt sepertinya mereka benar-benar merasa terganggu dengan tembang tengah malam Mbah Sami. Mereka datang tidak untuk mengusir Mbah Sami. Melainkan menghentikan nyanyiannya.
Saat warga dan pak rt hendak masuk ke kamar Mbah Sami. Ternyata Mbah Sami tidak ada di kamarnya. Ia hilang dalam sekejap. Kami cukup kaget dan kebingungan mencari kemana Mbah sami pergi.
Tiga hari sudah Mbah Sami hilang. Kami belum juga kami berhasil menemukannya. Tembang tengah malam itu sudah tak terdengar lagi beberapa hari ini. Warga mulai tenang. Namun kami sangat khawatir akan kepergian Mbah Sami yang secara mendadak dan hilang tanpa meninggalkan jejak.
Malam ini aku dikagetkan dengan suara kursi yang bergoyang dari samping tempat tidur Mbah Sami. Ada dendangan kecil yang terdengar samar di telingaku. Itu persis seperti suara Mbah Sami. Aku mencoba mendekati kursi itu. Ternyata benar itu Mbah Sami.
"Mbah kemana saja? "
"Aku pergi sebentar Ndok."
"Kita semua khawatir Mbah."
"Lengsir Wengi. Aku sudah menyatu dengannya."
"Maksud Mbah?"
"Aku sudah menyatu dengannya."
Semenjak Mbah Sami kembali. Tembang tengah malam itu hidup kembali. Ia masih bernyanyi ketika telah larut malam. Warga mulai merasa terganggu lagi dengan nyanyian Mbah Sami. Hari-hari dirumah kembali seperti biasa. Kami kembali mendengar tembang malam Mbah Sami dan warga kembali merasa terganggu.
Seminggu sudah Mbah Sami kembali. Ia tetap sama seperti Mbah sami yang telah kehilangan separuh jiwanya. Malam ini Mbah Sami menyanyikan tembang itu dengan sangat merdu dari dalam kamarnya. Namun kemerduan dan keindahan tembang itu membuat warga ketakutan. Mengingat tembang itu adalah tembang tengah malam dan seperti tembang untuk memanggil arwah yang telah meninggal.
"Aku ingin menyusulmu"
"Ini tembang kesukaanmu"
"Aku Kesepian"
Aku mendengar suara Mbah Sami mendesah dan Ia seperti berbicara dengan seseorang dari dalam kamarnya. Setelah suara-suara itu hilang Mbah Sami berhenti bernyanyi. Ternyata malam itu adalah malam terakhir bagi Mbah Sami untuk duduk di kursi goyang samping tempat tidurnya sambil menyanyikan tembang tengah malam. Mbah Sami pergi menyusul Mbah Kakung.
Setelah Mbah Sami di kuburkan malamnya kami masih mendengar suara nyanyian tembang tengah malam. Dan suara itu berasal dari makam Mbah Sami.
Jakarta, 24 Mei 2017
Gelas.Kaca_
Perempuan Sunyi
Saat mentari mulai turun perempuan bertudung hitam itu memasuki sebuah kafe dan memesan secangkir Americano. Hari ini usianya genap dua puluh tiga tahun. Ia mulai memasuki periode dimana kegelisahan dan kegalauan dunia. Kali ini ia sedang tak ingin berdamai dengan dunia yang hanya berisi tipuan. ia menatap kelangit senja nampak kuning keemasan dan begitu tenang. Sejenak ia melihat langit itu ia seakan ingin hilang terbawa senja dan tenggelam bersama dinginnya malam. Ia seperti menemukan sedikit ketenangan dari mentari senja itu. Kepalsuan dunia yang ia rasakan saat ini seakan hilang ditelannya.
“Aku merasa damai.” Lirih perempuan itu dengan nada lembut sambil membuat bulan terbit dari wajahnya.
Ia membayangkan dunia yang ada dalam kepalanya seakan menjadi nyata. Dunia yang damai penuh keadilan, tidak ada penindasan, penipuan, semua saling merangkul dan peduli. Tidak hanya mementingkan diri sendiri dan rela diperbudak oleh mesin yang bernama waktu yang berhasil memisahkan ia dengan kekasihnya.
Lama terhanyut dalam lamunan tiba-tiba seorang pelayan datang membawakan Americano pesanannya.
“Selamat menikmati.” Ucap pelayanan yang menggenakan dasi kupu-kupu pada lehernya itu. Ia tampak begitu rapi layaknya seorang pemuda yang akan melamar pekerjaan ke perusahaan terkenal.
Namun sayangnya perempuan itu sama sekali tidak memperdulikan pelayan yang datang. Ia hanya menatap ke arah langit senja. Lalu melihat ke bawah ia perhatikan manusia-manusia sibuk lalu lalang di luar sana, suara klakson kendaraan, hentakkan kaki para pedagang kaki lima berjalan kesana kemari untuk menawarkan dagangan. Suara deru napas orang-orang yang berlarian mengejar angkutan umum yang hanya berhenti di beberapa tempat saja.
Melihat semua itu senyum di bibirnya kembali hilang. Ia menatap ke arah meja ternyata sudah tersedia secangkir Americano panas yang ia pesan tadi. Ia langsung menyeruput secangkir Americano itu tanpa mencampurnya dengan gula.
“ Pahit.!” lirihnya.dengan wajah kesal.
“Sampai kapan aku harus menunggu pria itu? Ini sudah tiga tahun semenjak kepergiannya. Bukankah ia berjanji akan pulang dan membawaku pergi dari dunia ini.” Sepertinya perempuan itu mulai meragukan kekasihnya itu.
“Cintakah kau padaku.? Cintakah kau padaku.? Cintakah kau padaku.? Ucap perempuan itu sambil menggengamkan kedua tangannya di gelas kopi kemudian menghabiskan kopi itu dengan satu tegukan saja.
“Pahit.!” Kata-kata itu kembali keluar dari mulutnya.
Perempuan itu seperti sedang meluapkan kemarahannya pada secangkir kopi yang ada di depannya itu. Ketika hendak berdiri dan meninggalkan kafe tiba-tiba saja seorang pelayan datang menghampirinya dan berkata.
“Kopimu akan terasa lebih pahit lagi jika kau seruput dengan wajah seperti itu. Coba campurkan kopi itu dengan sedikit senyum, maka ia akan terasa manis.” Ucap pelayan sambil memberikan secangkir kopi lagi.
Perempuan itu mengerutkan keningnya.
“Saya tidak memesan kopi lagi.” Jawabnya cetus
“Ini hadiah dari kami karena hari ini kafe ini genap berusia tiga tahun, terimalah nona dan tetap menjadi pelanggan setia kami.”
“Benarkah.?
“Benar.”
“Baiklah, aku terima kopi ini.”
Perempuan itu langsung meminum kopi yang telah diberikan oleh pelayan kepadanya,
“Pahit.” Cetusnya lagi
Setelah itu ia meletakkan kopi diatas meja kemudian meninggalkan kafe tersebu dan pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah seperti biasa ia tidak menemukan siapapun kecuali kehampaan. Semua yang berada dalam ruangan itu sibuk memikirkan besok makan apa besoknya lagi dan besoknya lagi. Orang-orang yang ada di sekelilingnya adalah orang-orang mesin waktu. Mereka yang suka berlarian dikejar waktu. Ia sangat kesal di hari jadinya itu hatinya kembali kelabu. Kekasih yang selalu mendampinginya hilang entah kemana. Mesin waktu telah menculik kekasihnya itu.
Ia berjalan menuju kamar dan menghempaskan badan kekasur lalu menghela napas hingga terhanyut dalam lamunan.
“Aku masih berharap kau akan kembali padaku.menemani dalam kesendirian menjadi rumah tempatku berpulang. Mengusir segala sunyi dan kehampaan yang kurasa. Bawa aku pergi menuju dunia yang bukan disini. Dunia dimana aku tidak akan melihat dan merasakan kepahitan seperti yang ku lihat senja tadi dalam secangkir kopi yang tak kalah pahitnya.”
Ia hanya terdiam dan bergumam sendiri seakan seluruh isi kamarnya mengajak untuk berbicara tentang sebuah penantian dan kepercayaan.
“Cintakah kau padaku.” Kata cermin padanya
Perempuan itu terkejut dan bangun dari tidurnya. Ia membuka kerudung hitam yang dari tadi membungkus kepalanya. Lalu berjalan menuju cermin yang berada disamping tempat tidur. Lalu menatap dengan wajah kesal sambil berkata,
“Kau meragukannya.?”
Cermin hanya diam dan membiarkan wajah cantiknya berbicara dengan dirinya sendiri tanpa menyembunyikan sedikitpun kemarahan dan kesedihan yang ada dalam jiwa perempuan itu.
***
Keesokan hari ia mencoba untuk berdiam diri di kamarnya. Mencoba merehatkan pikiran dari kegelisahan yang membuatnya tidak bisa menatap di dunia yang ia anggap tidak ada ketenangan selain pada kekasihnya. Namun kekasih yang telah bertahun-tahun ia tunggu itu tak kunjung datang. Ia mencoba menerka-nerka kemana kekasihnya itu pergi, mengapa hingga saat ini belum juga datang menjemput untuk pergi ke dunia selain dunia yang ia pijaki sekarang.
Berhari-hari ia habiskan waktu di kamar melampiaskan kesalnya pada beberapa puisi dan cerpen yang berhasil ia ciptakan sendiri dari kegelisahan yang telah merebut dunianya. Pada hari ketujuh setelah ia berhasil mengurung diri di dalam kamarnya. Tiba-tiba saja ia mendengar suara ketukan dari pintu rumahya. Setelah berhari-hari ia tidak mendengar satupun suara selain suara tetesan air dari kran tempat pencucian piring.
Ia enggan beranjak dari kamarnya. Hanya tempat itu yang membuatnya merasakan ketenangan. Namun semakin ia biarkan ketukan itu semakin keras. Suara itu sangat menganggunya.
Tok,, tok,, tok,, tok,, tok,, tok,, tok,, tok,, tokk.!!!
Akhirnya perempuan itu berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu rumahnya. Sesampainya di depan pintu ia menatap pintu itu dan berkata,
“Mengapa kau berisik sekali.”
Namun pintu itu hanya diam tak ada jawaban ataupun suara bising yang menganggunya tadi.
“Ayo katakan mengapa kau berisik.” Ucap perempuan itu dengan nada tinggi
Namun lagi-lagi pintu itu hanya diam dan tidak mengeluarkan sedikitpun suara.
“Baiklah ku turuti permintaanmu.” Perlahan perempuan itu membukakan pintu rumahnya. Akan tetapi ia tidak menemukan adanya tanda-tanda seseorang telah datang dan mengetuk pintu rumahnya.
Ia hanya menemukan seikat mawar merah di atas keset kaki depan pintu. Ia mengambil mawar itu. Di dalam mawar itu ada sebuah amplop kecil yang bertuliskan. Bacalah surat ini.
Perempuan itu langsung membuka amplop itu dan membaca tulisan yang ada di dalam surat itu.
Ia hanya menemukan sebuah tulisan. “Maaf aku terlambat.”
Setelah membaca surat itu ia langsung berlari menuju gerbang rumahnya lalu menatap ke kiri dan ke kanan. Seperti sedang mencari seseorang. Namun sepertinya pencarian itu sia-sia. Seseorang yang ia cari mungkin telah pergi kembali ke dalam mesin waktu yang telah menelannya. Ia berjalan menuju pintu rumah dan menutup kembali pintu itu. Entah mengapa setelah menerima bunga dan surat itu ia merasa sedikit lega. Ia kembali masuk kamar dan berbicara pada cermin.
“Cermin lihatlah kekasihku datang dan memberiku seikat mawar bukan hanya itu kali ini ia juga mengiriminku surat.” Katanya
Cermin itu tersenyum padanya. Baru kali ini cermin memberikan senyum dengan tanpa paksaan ataupun beban kepada perempuan itu.
Semenjak mawar itu datang. Perempuan yang selalu mengurung diri di kamar itu kini mulai beranjak dari kamarnya dan menuju ruang tamu. Ia meletakkan mawar itu tepat di meja ruang tamu. Dimana tempat itu menjadi tempat antara ia dan kekasihnya menghabiskan waktu.
“Aku yakin nanti jika mesin waktu itu berhenti kekasihku akan pulang dan menemuiku. Ia mencintaiku.” Ucap perempuan itu.
Kini perempuan itu seperti menemukan dunia baru. Semenjak kedatangan mawar merah dan surat yang sangat singkat itu. Ia mulai bisa tersenyum dan lebih sering menghabiskan waktunya dengan merawat bunga mawar itu. Namun setelah hampir dua minggu mawar yang ia kira dari kekasihnya itu mulai layu dan tak mampu lagi berdiri dalam vas yang telah ia sediaakan khusus untuk mawar merah itu.
Berhari-hari ia mencari cara agar mawar yang ia kira dari kekasihnya itu layu dan membusuk. Namun hasilnya nihil di hari ke tujuh belas setelah mawar itu dikirim ia layu dan membusuk.
Sang perempuan pun kembali menuju dunianya yang lama. Ia sangat terpukul akan kehilangan mawar merah pemberian dari seseorang yang ia kira adalah kekasihnya. Ia kembali menjadi wanita kamar yang tidak suka suara bising menghampiri telinganya. Kembali menutup akses untuk melihat dunia yang ia anggap penuh dengan kegelisahaan.
Dua malam sudah ia menghabiskan waktu di kamar dan menulis beberap puisi da cerpen untuk meluapkan kesalnya pada mawar kiriman seseorang itu. Di hari ketiga ia keluar dari kamar untuk mengambil beberapa cadangan makanan yang ada di dalam kulkas.
Saat hendak berjalan ke dapur. Ia menemukan mawarnya kembali subur dan memerah. Ia menghampiri mawar itu. Di samping vas bunga itu terdapat amplop yang bertuliskan. “Bacalah suratku.”
Perempuan itu membuka surat itu dan ternyata surat itu hanya berisi
“Mawar tetaplah tersenyum lihatlah bunga ini ia kembali mekar setelah layu berhari-hari.”
Perempuan itu tersenyum dan berlari menuju cermin kamarnya.
“Cermin kekasihku telah pulang, ia telah datang menjemputku. Lihat kali ini ia memanggil namaku. mesin waktu telah rusak, ia telah dikeluarkan dipenjara.”
Mawar begitu orang-orang memanggilnya. Dulu ia gadis yang bahagia selalu tersenyum saat bersama kekasihhnya. Namun semenjak ia berusia dua puluh tahun kekasihnya harus pergi meninggalkannya demi taat kepada mesin waktu agar bisa menyekolahkan mawar dan melihat mawar bisa membeli apa saja yang ia mau. Kekasihnya itu berjanji akan pulang jika tugasya telah usai.
Semenjak kekasihnya pergi Mawar selalu pergi sendiri . Ia menjadi mandiri dan melakukan apapun sendiri. Awalnya ia sangat menyukai kegiatan itu. Ia terlihat tangguh dan hebat sekali. Namun setelah beberapa lama ia hidup mandiri. Ia slelau saja menemukan kecurangan demi kecurangan menghampirinya. Setiap yang dekat dengan Mawar selalu berusaha mengambil keuntungan darinya. Bukan hanya dari sisi ekonomi tapi sisi lainnya. Semenjak saat itu Mawar membenci kehidupan dunia. Ia seperti tidak menemukan ketenangan seperti saat bersama kekasihnya.
Kini mawar merasa bahwa kekasihnya itu telah kembali pulang. Mungkin kekasihnya masuk rumah ketika mawar sedang tertidur dan sekarang sedang membeli bunga mawar lainnya agar mawar yang ia pegang tidak sendirian.
Pare, 12 November 2017