Archive for 2017
Ikan Empang Untuk Juleha
Ikan
Empang Untuk Juleha
Oleh: GelasKaca
Ikan ini tak datang dari laut asin
Melainkan dari empang samping rumah
Ku bersihkan sisiknya dari lumpur
Ku kirim lewat pos untukmu
Ikan itu akan sampai di pintu rumahmu besok
Jangan lupa kau masukan ia ke dalam minyak panas
Sebab ia kedinginan di rumah si tukang pos
Juleha, ku beri tahu padamu
Meski hidup di penuhi lumpur
Tapi dagingnya lebih nikmat dari ikan laut asin
Makan dan nikmati
Ruangbisu, 2017
picture by google
Penyesalan Leluhur
Penyesalan Leluhur
oleh: GelasKaca
Aku mendengar jeritan para leluhur dalam kubur
Mereka menjerit ketakutan
sebab rumah tempat arwah berdiam digusur
Dihimpit oleh bangunan pencakar langit
Kemana arwah akan beristirahat?
Ketika tanah di gembur,
Truk tronton mengeruk hingga akar
Aku mendengar rintihan moyang mengerutu mengutuk diri
Membiarkan anak cucu memilih jalan neraka
Dengan alasan menyambung hidup
Alam tak lagi jadi kawan
Melainkan lawan yang terus ditindas
Aku mendengar jeritan dan rintihan dari alam
Ketika mereka di perkosa cucu para leluhur
Renung, 2017
picture by google
Cintai Aku Sehari Saja
pintaku sederhana saja .
cintai aku sehari saja .
hari ini cintai aku sepenuh hati .
jika cintamu esok masih berkelanjutan dan membuatmu bahagia ..
teruskanlah …
namun jika itu sebaliknya
berpaling dan berhentilah .
cukup hari ini saja kau mencintaiku .
setidaknya
aku bahagia
karena telah merasakan cintamu sepenuhnua
walau hanya sehari saja ..
Bekasi,
GelasKaca
cintai aku sehari saja .
hari ini cintai aku sepenuh hati .
jika cintamu esok masih berkelanjutan dan membuatmu bahagia ..
teruskanlah …
namun jika itu sebaliknya
berpaling dan berhentilah .
cukup hari ini saja kau mencintaiku .
setidaknya
aku bahagia
karena telah merasakan cintamu sepenuhnua
walau hanya sehari saja ..
Bekasi,
GelasKaca
Dibodohi Rasa
Rasa ini membodohiku
Dunia khayalan mencaci aku
Menertawaiku saat sedang terbang bersamamu
Memeluk dan menggigit bibirmu
Aku terkurung dalam penjara rasa
Menatapmu saJa aku tak berani
Lalu, bagaimana mungkin khayyalanku nyata
Dan lagi aku dibodohi oleh rasa...
Depok,
GelasKaca
Dunia khayalan mencaci aku
Menertawaiku saat sedang terbang bersamamu
Memeluk dan menggigit bibirmu
Aku terkurung dalam penjara rasa
Menatapmu saJa aku tak berani
Lalu, bagaimana mungkin khayyalanku nyata
Dan lagi aku dibodohi oleh rasa...
Depok,
GelasKaca
TERJEBAK DONGENG
kau dan aku
kita adalah sepasang tokoh yang terjebak dalam dongeng
bumi dan langit diciptakan terpisah
air dan minyak mustahil bisa menyatu
kancil selalu saja menjadi tokoh tercerdik
mengelabuhi setiap kawan
dongeng-dongeng tua tampak tak dijamah oleh tangan-tangan masa kini
lalu bagaimana cara kita keluar dari negeri ini?
para pahlawan telah gugur ditelan masa
pada siapa lagi kita harus mengadu
dongeng dongeng tua itu terlupakan
terjerat dan terjebak di negeri ini tak selamanya menyenangkan
Jakarta,
GelasKaca
kita adalah sepasang tokoh yang terjebak dalam dongeng
bumi dan langit diciptakan terpisah
air dan minyak mustahil bisa menyatu
kancil selalu saja menjadi tokoh tercerdik
mengelabuhi setiap kawan
dongeng-dongeng tua tampak tak dijamah oleh tangan-tangan masa kini
lalu bagaimana cara kita keluar dari negeri ini?
para pahlawan telah gugur ditelan masa
pada siapa lagi kita harus mengadu
dongeng dongeng tua itu terlupakan
terjerat dan terjebak di negeri ini tak selamanya menyenangkan
Jakarta,
GelasKaca
Jangan Panggil RANI
ia tampak tak waras seketika wajahnya basah di guyur hujan dari bola matanya
kekasihnya pergi dipeluk manusia berparas menawan
tak perlu sangsi untuk sebuah pengharapan semua akan indah dibalik rahasia rahasia NYA
tapi dia RANI masih menangis dan terseduh dibawah payung teduh
sadarkan ia bahwa yang ia tangisi tak layak untuk ditangisi
Jangan panggil RANI sebab ia menangisi luka yang tak basah
Bekasi
GelasKaca
Duka
dalam diamnya bumi
menyimpan amarah yang teramat
alam bergerak serasa murka menerpa
meski tak berguncang
namun menyemburkan isinya
.
para penghuni tampak kepusingan
kewalahan meratapi amarah si bumi
.
mata ini masih bengkak kawan.
sisa tangisan kemarin
puing-puing derita masih tergelincir
disepanjang jalan
jeritan-jeritan para balita dan lansia
masih nyaring ditelinga
.
tak hentinya kau goreskan duka
.
penguasa
dan jelata
saling mencibir
Jakarta,
GelasKaca
menyimpan amarah yang teramat
alam bergerak serasa murka menerpa
meski tak berguncang
namun menyemburkan isinya
.
para penghuni tampak kepusingan
kewalahan meratapi amarah si bumi
.
mata ini masih bengkak kawan.
sisa tangisan kemarin
puing-puing derita masih tergelincir
disepanjang jalan
jeritan-jeritan para balita dan lansia
masih nyaring ditelinga
.
tak hentinya kau goreskan duka
.
penguasa
dan jelata
saling mencibir
Jakarta,
GelasKaca
Plastik Sampah
Sampah Plastik
pembungkus segala bungkus
penutup segala tutup.
.
ku sebutkan satu per satu
takkan sanggup kalian mendengarnya
hingga mentari berputar putar di bumi
.
pembungkus segala bungkuss
bungkus... bungkus
tutup...tutup...tutup!!!!.
sampah itu dengan plastik
hingga plastik jadi sampah
Jakarta,
GelasKaca
pembungkus segala bungkus
penutup segala tutup.
.
ku sebutkan satu per satu
takkan sanggup kalian mendengarnya
hingga mentari berputar putar di bumi
.
pembungkus segala bungkuss
bungkus... bungkus
tutup...tutup...tutup!!!!.
sampah itu dengan plastik
hingga plastik jadi sampah
Jakarta,
GelasKaca
Pertemuan
>Jarak
Berhasil jua
Di gunting kopi
.
Malam melarut
Tak pedulikan
.
Rindu menggerat
Semakin berat
.
Dua tubuh
Dalam ruang tanpa batas
.
Membebas
Dipeluk
Kelam
.
Teraduk dalam
Dua cangkir kopi hitam
.
Duduk bersanding
Di tepian jalan
.
Menjerit melepas tawa
Tanpa peduli
Kelelawar bertebaran
.
Jakarta,
GelasKaca
Berhasil jua
Di gunting kopi
.
Malam melarut
Tak pedulikan
.
Rindu menggerat
Semakin berat
.
Dua tubuh
Dalam ruang tanpa batas
.
Membebas
Dipeluk
Kelam
.
Teraduk dalam
Dua cangkir kopi hitam
.
Duduk bersanding
Di tepian jalan
.
Menjerit melepas tawa
Tanpa peduli
Kelelawar bertebaran
.
Jakarta,
GelasKaca
DAGING
DAGING
Angkasa luas inilah yang menggelembungkan balon di kepalaku.
Bongkahan planet melayang, seperti gumpalan dada yang mengerang.
''Siapa Anda? Punyakah Anda secebis kisah tentang dunia? Tolong.''
Tidak.
Tak ada kisah tentang dunia.
Kecuali dongeng, semacam konon, yang diterbangkan oleh sepotong daging di jagat raya.
''Ini bulan, kuserpih dari seratku yang malam.
Ini matahari, kubeset dari kulitku yang siang.
Pada keduanya ada gerhana, tempat kau berpikir tentang tiada.''
Tentang tiada?
''Aku manusia! Diriku lahir karena ada. Siapa Anda?
Takkan aku bertanya kalau di mataku Anda tiada.
Takkan aku berkata kalau gugus galaksi gelap saja.
Takkan aku berpikir kalau semuanya sia-sia.
Siapa Anda?''
''Sudah mereka katakan aku cuma dongeng.
Sudah mereka katakan aku cuma konon.
Tapi aku daging. Daging, yang setiap hari engkau telan engkau muntahkan...''
Payakumbuh, 1997
Gustf
SI BISU,SI LUPA
SI BISU, SI LUPA
Payakumbuh, 1997
Gus Tf
Letih mengembara, capek berkelana, akhirnya ia putuskan
jadi Si Bisu. Ketika itulah ia tahu: Tiap kali bicara, sebenarnya
mengurangi hidupnya. Maka mulailah ia tinggal dalam pikiran;
dalam kenangan. Menciptakan dunia sendiri, seperti musik
dibuntal melodi, melengkung-ngambang dalam ruangan
segala dekat dalam jangkauan.
Capek mengembara, puas berkelana, akhirnya ia putuskan
jadi Si Lupa. Barulah ia tahu: Tiap kali mengenang, sebenarnya
getar riang kian berkurang. Maka mulailah ia tinggal dalam alpa;
dalam lupa. Menciptakan dunia kedua, seakan hidup kemarin
tak pernah ada. Dan ia mengulang, mengulang lagi kehadirannya.
Gus Tf
USIA
USIA
maka tertahan aku: di bandul jam. Semua getar
melamban jadi gema. “Siapa
yang memecah kulit, keluar dari cangkangnya?”
dan kulihat engkau, tapi tak ada. Seperti bunga
dipindahkan: dari tangkai ke jambangan. Bagaimana
mungkin, kehilangan datang menaklukkan keberadaan?
dan aku meronta, mengerang dari dada. Secabik serat
melenguh: mengiris ruang dalam diriku. O, bagaimana
mungkin, masa depan menyurut, mengekal masa lalu?
maka tertahan aku: di bandul jam. Semua getar
melamban jadi gema. “Siapa
yang mengupas kulit, kelucas dari keriputnya?”
Payakumbuh, 1996
Gus Tf
PENDATANG
PENDATANG
Nanti, ketika aku pergi, akan tiba pendatang lain
dengan kalimat lain. Mungkin mereka jelaskan, segenap
misteri kehidupan; tetapi tidak tentang mereka sendiri. Selalu,
kata mereka, “Ada lampu. Tapi bukan buat disuluh dalam diri.”
Namun, karena bertetangga, kau senantiasa terus tergoda
untuk tahu tentang mereka. Ada kalanya lupa, tetapi lebih sering
kau saling suruh berbaku-hasut mendesak mereka. Sampai suatu ketika
mereka berkata, “Ada mitos. Tapi semua cuma dongeng tak berguna.”
Besoknya, terkejut, kausaksikan semua: puing-puing hangus,
tubuh-tubuh gosong, rumah-rumah rata. Di tengah sangit udara, kau
tiba-tiba ingat kejadian semalam, dan berkata, “Lampu itu! Ada nyala
di dada mereka!” semua pun lalu menangis. Menangis, sejadi-jadinya.
Payakumbuh, 1999
Gus Tf
Hal Tak Penting
Hal Tak Penting
Kami tidur setiap malam seperti kami bangun setiap pagi.
Apa yang bisa kami makan hari ini?
Kentang, tomat, daging, kiriman roti dari Bakery.
Semur, opor, sup, sangat cocok dengan nasi.
Ada juga keripik ikan pari, cemilan kami setiap kali duduk di depan televisi.
Kami duduk di depan televisi seperti kami duduk di depan kerabat.
Lihat.
Leher koyak, kepala somplak, di kaki meja tergeletak sepotong kapak.
Adakah ia kapak yang kemarin kami pinjam dari tetangga?
Darah mengalir, menetes ke cangkir, memadat mengental
seperti agar-agar.
Lihat. Ia mengiris, dan mencowelnya, seperti kami mengiris dan mencowel mentega.
Ia menjilat, dan mengulumnya, seperti kami menjilat dan mengulum gula-gula.
Adakah ia memang rasakan betapa legitnya?
Adakah ia memang kerabat --bagian dari kami juga?
Kami tertawa-tawa.
Tergeli-geli seperti bukan dengan televisi.
Tapi selalu, setiap senja, seorang lelaki turun dari taman kota.
Dari pintu pagar, ia berteriak, ''Tidakkah mengherankan bahwa kita hidup?''
Sungguh tak penting.
Ia manusia.
Si gila.
Berita sore yang kami nanti: Seberapa banyak saham kami naik hari ini?
Apa yang bisa kami makan hari ini?
Kentang, tomat, daging, kiriman roti dari Bakery.
Semur, opor, sup, sangat cocok dengan nasi.
Ada juga keripik ikan pari, cemilan kami setiap kali duduk di depan televisi.
Kami duduk di depan televisi seperti kami duduk di depan kerabat.
Lihat.
Leher koyak, kepala somplak, di kaki meja tergeletak sepotong kapak.
Adakah ia kapak yang kemarin kami pinjam dari tetangga?
Darah mengalir, menetes ke cangkir, memadat mengental
seperti agar-agar.
Lihat. Ia mengiris, dan mencowelnya, seperti kami mengiris dan mencowel mentega.
Ia menjilat, dan mengulumnya, seperti kami menjilat dan mengulum gula-gula.
Adakah ia memang rasakan betapa legitnya?
Adakah ia memang kerabat --bagian dari kami juga?
Kami tertawa-tawa.
Tergeli-geli seperti bukan dengan televisi.
Tapi selalu, setiap senja, seorang lelaki turun dari taman kota.
Dari pintu pagar, ia berteriak, ''Tidakkah mengherankan bahwa kita hidup?''
Sungguh tak penting.
Ia manusia.
Si gila.
Berita sore yang kami nanti: Seberapa banyak saham kami naik hari ini?
Payakumbuh, 1997
Gus tf
PERCINTAAN HULU DAN MUARA
PERCINTAAN HULU DAN MUARA
jangan pernah kau ragukan. ini bukan sajak terakhirku, kekasih
sebagaimana hulu. ia selalu menyimpan rindu pada muara
sebuah pertemuan yang tak pernah. hanya tumpukan dari gelisah
lalu desir air. potongan-potongan ranting yang tersangkut
“sampaikan salam pada muara. aku hulu yang berkabung rindu!”
demikianlah senantiasa ia nyanyikan di senja-senja lembab
juga taring waktu yang runcing
kisah apa yang tak kuceritakan kepadamu. meski parasmu samar
dan aku hanya melukismu di tebing-tebing batu
kubayangkan seekor belibis putih membasuh paruhnya di tepi sungai
ikan-ikan menggoda. hari begitu saja menjadi penjadi petang
“bukan. aku hanya akar tua yang lapuk direndam musim!”
sesungguhnya suara yang tak ingin kudengar. kau akan berlari
di antara ilalang dan batang-batang
sajak ini akan terus kukirim untukmu, kekasih
meski ceritanya selalu saja tentang perih
Payakumbuh
iyut fitra
jangan pernah kau ragukan. ini bukan sajak terakhirku, kekasih
sebagaimana hulu. ia selalu menyimpan rindu pada muara
sebuah pertemuan yang tak pernah. hanya tumpukan dari gelisah
lalu desir air. potongan-potongan ranting yang tersangkut
“sampaikan salam pada muara. aku hulu yang berkabung rindu!”
demikianlah senantiasa ia nyanyikan di senja-senja lembab
juga taring waktu yang runcing
kisah apa yang tak kuceritakan kepadamu. meski parasmu samar
dan aku hanya melukismu di tebing-tebing batu
kubayangkan seekor belibis putih membasuh paruhnya di tepi sungai
ikan-ikan menggoda. hari begitu saja menjadi penjadi petang
“bukan. aku hanya akar tua yang lapuk direndam musim!”
sesungguhnya suara yang tak ingin kudengar. kau akan berlari
di antara ilalang dan batang-batang
sajak ini akan terus kukirim untukmu, kekasih
meski ceritanya selalu saja tentang perih
Payakumbuh
iyut fitra
menu kandang tiga binatang
menu kandang tiga binatang
kucing tanahdata:
di ranahku, menu ayam berserakan
menu itik dalam peraku
menu anjing tersaji depan pintu
menu kelinci langsung ke dipan
hanya menu untukku yang bisa berdekatan
dengan wajah makanan majikan
harimau agam:
sejak dikandangkan, aku kehilangan petualangan
aku tak lagi sempat menunjukkan martabat raja hutan
bertarung di rimba raya memburu santapan
di kandang kebun berbintang ini makananku selalu disediakan
aku tinggal meladani pengunjung dengan auman dan taring disunggingkan
agar mereka mengira itulah senyuman
kambing limapuluh kota:
mengumpulkan makanan bagiku gampang
tanah di ranah ini menumbuhkan seribu satu daun untukku
daun di ladang, daun di hutan,
daun di jalanan bahkan daun di halaman
tidak pantas ada cemas, selama masih mampu mengayuh tubuh
sedikit pun aku tiada ragu
aku akan terus menjelajah
mencari dan mencuri daun demi daun
Zelfeni Wimra
2014
kucing tanahdata:
di ranahku, menu ayam berserakan
menu itik dalam peraku
menu anjing tersaji depan pintu
menu kelinci langsung ke dipan
hanya menu untukku yang bisa berdekatan
dengan wajah makanan majikan
harimau agam:
sejak dikandangkan, aku kehilangan petualangan
aku tak lagi sempat menunjukkan martabat raja hutan
bertarung di rimba raya memburu santapan
di kandang kebun berbintang ini makananku selalu disediakan
aku tinggal meladani pengunjung dengan auman dan taring disunggingkan
agar mereka mengira itulah senyuman
kambing limapuluh kota:
mengumpulkan makanan bagiku gampang
tanah di ranah ini menumbuhkan seribu satu daun untukku
daun di ladang, daun di hutan,
daun di jalanan bahkan daun di halaman
tidak pantas ada cemas, selama masih mampu mengayuh tubuh
sedikit pun aku tiada ragu
aku akan terus menjelajah
mencari dan mencuri daun demi daun
Zelfeni Wimra
2014
Terkenang Pedati
Terkenang Pedati
Iyut Fitrapetang turun di masa kanak, ia ingat tahun-tahun itu
kerbau-kerbau lewat membawa rumah-rumah
membawa goni padi, antara lenguh dan lecut cemeti
apakah namanya itu, ibu?
ia bertanya saat gerobak itu berderit-derit setiap hari
pedati, jawab ibunya seraya menutup jendela dan pintu
malam akan turun di dusun itu
ia ingat malamnya ada rasian yang singgah
bersama pedati ia menumpang sampai ke ujung jalan
sebuntal pakaian dan harapan ia pun sampai di perantauan
lalu lalang, simpang-simpang juga cahaya terang benderang
tak ada lenguh selain riuh, tak pula lecut cemeti selain mimpi
ia merasa terkepung dalam keasingan, ia ingin pulang
serupa gegas kota, betapa lajunya usia
sebagaimana petang-petang terus turun, ia kembali bertanya
masih adakah pedati itu, ibu?
tapi ibunya pun sudah teramat tua untuk menjawabnya
Payakumbuh 2014
Kusir Bendi
Kusir Bendi
Iyut Fitra
kuda merah dan bendi merah. sudah berapa jauh penumpang diantarkan
sedari pagi muncul matahari. siang sejenak rumput dan sagu
hingga jelang petang
di antara kleneng genta. ia kisahkan kesepian
tentang kota yang menjulang. laju pacu kendaraan
atau peluh yang kering di badan. ke mana kota ini akan dibawa?
sedari pagi muncul matahari. siang sejenak rumput dan sagu
hingga jelang petang
di antara kleneng genta. ia kisahkan kesepian
tentang kota yang menjulang. laju pacu kendaraan
atau peluh yang kering di badan. ke mana kota ini akan dibawa?
kuda merah dan bendi merah. ia kusir yang sendirian
hidup tergantung pada penumpang. menghiba ketika pekan lengang
ia bayangkan sepuluh tahun nanti. di dalam kandang kuda-kuda mati
terkekang zaman. hilang daya ketika cemeti patah tiga di gelanggang pacuan
ke mana kota ini akan dibawa?
hidup tergantung pada penumpang. menghiba ketika pekan lengang
ia bayangkan sepuluh tahun nanti. di dalam kandang kuda-kuda mati
terkekang zaman. hilang daya ketika cemeti patah tiga di gelanggang pacuan
ke mana kota ini akan dibawa?
kuda merah dan bendi merah
betapa yang lamban akan tertinggal oleh setiap yang gegas
betapa yang lamban akan tertinggal oleh setiap yang gegas
Payakumbuh 2013
kematian
sudah berapa kali kau mendengar berita kematian?
rasanya lebih dari banyak
mereka yang kau kenali dan yang tak kau kenali
pamit menuju kampung halaman
tubuh terkujur lemah tak berdaya
jiwa tanpa ruh tergelatak diatas dipan
bisingnya suara tangisan tak membangunkan tidurmu
mata mata tampak membengkak
menangisi kepulanganmu dari rantau
kucuran air hujan yang mengawan dimata
selalu jadi pengantar tidur abadimu
Kazumi Yoshiko
Pondok Indah, 27 Pebruari 2017
Gelas Kaca
Khianat
Kursi tua menjadi saksi sebuah temu
.
Melukai jiwa dengan darah yang mulai menghitam
.
Menusuk jantung dengan pisau tumpul
.
Merobek hati dengan manisnya kecupan
.
Siang itu kau titipkan padaku sebuah janji
.
Yang ku tau takkan kau tepati
.
Untuk apa kau tuangkan birahi yang sudah tenggelam
.
Untuk apa kau biarkan sukma mengalir ke tempat yang suram
.
Padamu??
.
Aku terludahi dan tersudahi
Kazumi Yoshiko
Gelas Kaca
Sujud
Pict By Google
Aku hanyalah seorang hamba yang berlumuran dosa
Berharap menemukan sajadah dalam diri
Yang tiap detiknya
Bisa ku pakai untuk bersujud
Hujan yang turun menempati musim
Pohon yang berbuah segar
Matahari tersenyum dalam terik bersinar
Rembulan yang sendu termeram
Angin yang bertiup lembut dan kencang
Air mengalir dengan lirih
Siang yang beranjak benderang
Malam yang bangga dengan gulita
Ayam berkokok membangunkam diri
Hewan berkeliaran menghiasi rimba
Kumbang tersenyum menghisap sari
Kau tau
Semua itu adalah bentuk Sujud seorang Hamba kepada-NYA
Jika layaknya setiap langkah adalah sujud
Maka deruh napas ini akan selalu mengagungkan nama-NYA
Apakah kita sudah lebih baik dari sekumpulan semut yang selalu bermesraan
Apakah kita sudah lebih baik dari segerombolan lebah yang datang membela kawan
Apakah kita sudah lebih baik dari hujan yang setia membagikan rezeki kepada penduduk bumi
Jika layaknya sujud adalah sebuah pengharapan yang mengharap balas
Lalu bagaimana dengan sujud-sujudmu selama ini?
Kazumi Yoshiko
Gelas Kaca
Kesaksian Seorang Murid
Pict by google
Kesaksian Seorang Murid
Jubahnya merah terkebas kemarau sebelum terkulai dalam tangan seorang perempuan. Enggan ia menengadah ketika berjalan sebab hidup yang menancapkan diri tak pernah bisa dipanggul. Tingkap yang terbuka menurunkan orang lumpuh di atas sepasang kakinya yang fasih menapak dan hampir tak lagi ia gunakan. Tilam yang tergelar telah sempurna menjadi alas bagi pinggan dan pialanya. Ia memang masih menapak dalam bentuk ketika si lumpuh mulai berjalan dan para tahir sekejap melupakannya. Langit di atas menjadi atap yang terpuji ketika menyembulkan tiang-tiang awan. Laut di bawah menjadi kesedihan yang lengkap ketika menyembunyikan duka nestapa Yunus. Mulailah ia mengambang di tengah-tengah dengan kaki yang terkepung dua belas bintang dan mahkota matahari yang lembut dan keemasan. Para nelayan yang sebentar lagi menebar jala sekejap tersadar bahwa ia tak benar-benar menapak ketika melaju di atas air sambil menjaga agar batu karang yang turut tidak tenggelam.
Ia menumbuhkan rumput bagi sisi kambing yang gersang, mengusap tanduk di kepala kemarau yang lembut dan mengisi penuh anggur ke dalam tempayan tuan pesta yang kosong. Ia menyisihkan air dari tempayan pembasuhan untuk menenggelamkan kota ketika para pembangkang mencoba mengacungkan pedang. Buluh yang terkulai memang tidak akan dipatahkan sebab ia menciptakan tanpa menyentuh dan melenyapkan hanya dengan memejam. Rohnya ia tinggalkan dalam tubuh pelacur terakhir yang disentuhnya sebelum ia memilih meninggikan diri untuk menegaskan bahwa kenisah tiga puluh tiga tahun yang rubuh memang dapat dibangun kembali oleh tukang bangunan yang cermat dan batu penjuru yang tepat hanya dalam tiga hari.
(Naimata, 2013)
Mario F Lawi