- Back to Home »
- AYAH DAN LONCENG TENGAH MALAM
Posted by : Gelas Kaca
December 20, 2022
Oleh: Rani H.A
Teng.. Teng, Teng..
Suara lonceng yang berasal dari jam dinding rumah tetangga itu selalu membuatku terjaga tengah malam. Bagaimana tidak lonceng itu berbunyi setiap tengah malam dengan sangat keras.
Lonceng jam dinding itu membuatku takut suaranya mampu menembus jendela kamar hingga bergetar. Beberapa hari ini aku tidak bisa tidur karena suara lonceng itu. Hari ini aku memutuskan untuk menghampiri ibu ke kamarnya dengan tujuan agar bisa tidur bersama ibu.
Aku mengetuk pintu kamar ibu hanya dengan satu ketukan tak lama setelah itu ibu membuka pintu kamarnya dan menyuruhku membaringkan badan di ranjang miliknya. Ia memintaku tidur di ranjangnya yang sebelah kanan yang selama berbulan-bulan tidak ada yang menemapatinya setelah kepergian bapak.
Setelah itu wanita paruh bayah yang hatinya masih terisis semenjak kepergian suaminya itu melanjutkan ritual sebelum tidur yaitu menyisir rambut putihnya yang panjang hingga berkali-kali.
Selesai dengan ritualnya ibu menghampiriku ke tempat tidur dan mengelus kepalaku. Aku memperhatikan wajah ibu yang tampak sudah tak muda lagi. Ibu juga hampir kehilangan senyumnya semenjak kepergian bapak. Beliau yang biasanya selalu tersenyum dan terkesan cerewet kini berubah menjadi ibu yang pendiam lengkap dengan wajah datarnya tapi aku memaklumi sikap ibu yang seperti itu mungkin karena kepergian Bapak yang masih menjadi misteri.
“Tidurlah nak, pagi akan segera datang.” Ucap Ibu sambil mengelus kepalaku.
“Sejak kapan tetangga kita punya lonceng itu bu.?”
“Entalah ibu tidak tahu. Mari kita tidur Karla bunyi lonceng itu sudah tidak ada.” Ucap Ibu sambil menarik selimut dan terus mengelus kepalaku hingga terlelap.
Dalam tidurku aku bermimpi bertemu ayah. Wajahnya pucat kedua mata ayah memerah seperti seluruh darah dalam tubuh ayah berkumpul pada matanya. Ia berjalan pelan menuju rumah sedang aku menunggunya di jenjang depan rumah. Awalnya aku tak percaya bahwa yang aku lihat dari kejauhan itu adalah ayahku. Ku perhatikan lelaki itu dengan seksama badannya yang tegap, bahu ayah yang lebar, rambut pendek ayah yang mulai memutih dan cara jalannya yang tegak aku yakin lelaki itu adalah ayahku. Ia melangkah dengan perlahan seperti orang kelelahan setelah berlari sangat jauh. Semakin dekat aku semakin yakin bahwa itu adalah ayah. Aku melemparkan senyum kepada lelaki itu dari jenjang rumah.
Saat Ia melangkah menuju rumah aku melihat ia membawa sesuatu di tangannya. Ayah mengenggam benda itu dengan sangat erat pada tangan kanannya. Benda itu kecil berwarna hitam. Seperti tak tega melihat ayah berjalan dengan kondisi badan yang sangat lemah. Aku berlari menghampiri ayah. Namun saat aku hampir sampai di hadapan ayah. Ibu membangunkanku
“Karla bangun sudah waktunya subuh.”
Seakan aku tak ingin mendengarkan ibu aku menarik selimutku kembali dan membungkus badanku.
“Karla bangun solat subuh.!” Kali ini ibu berhasil membangunkanku dengan suara tegasnya. Aku langsung membuka mata kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan badan dan bersiap-siap menunaikan ibadah solat subuh.
Setelah selesai menunaikan solat subuh. Aku kembali ke tempat tidur rasanya aku ingin mengulang mimpiku bertemu dengan ayah. Lelaki itu berada dimana sekarang? Aku yakin ayah masih hidup. Apa benda yang di genggam ayah pada tangan kanannya itu. Mengapa sampai saat ini ayah tak kunjung pulang. Pertanyaan-pertanyaan itu kembali menghantuiku setelah beberapa minggu ini aku mencoba melupakan ayah. Namun mimpi tadi menarikku untuk mencari tahu ayah sedang berada dimana. Mengapa dalam mimpiku ayah begitu pucat lalu benda apa yang digenggam ayah pada tangan kanannya.
Aku tidak berniat menceritakan mimpiku ini kepada ibu. Aku takut membuat ibu semakin bersedih dan kehilangan senyumnya yang hanya tersisa sedikit.
Malam kembali datang. Aku mencoba memberanikan diri untuk tidur di kamarku. Berharap suara lonceng yang mengangguku beberapa malam ini tidak ada lagi. Namun setelah beberapa jam aku mencoba memejamkan mata. Hingga jarum jam dinding menunjukkan pukul setengah dua belas mataku tak kunjung terpejam jantungku berdetak kian kencang. Sepertinya malam ini bunyi lonceng itu akan meruntuhkan jendela kamarku. Jam berputar kian cepat dan aku semakin tidak bisa bernapas. Dadaku sesak aku mendengar suara lonceng itu berbunyi sangat kencang. Jendala kamarku bergetar dengan sangat kencang. Kali ini lonceng itu berbunyi tidak hanya dengan tiga kali ketukkan melainkan berkali-kali dan terus berulang-ulang. Aku berteriak dan memanggil-manggil ayah.
“Ayah, ayah, ayah.” Suara teriakkanku membuat ibu terbangun
“Ayahmu dimana.?” Saut ibu dengan tiba-tiba sambil berlari masuk ke kamarku dan langsung memelukku.
Aku tediam di pelukkan ibu. Seluruh badanku mendingin dan pucat kali ini ibu tidak membiarkanku tidur sendirian di kamar ibu ikut tidur bersamaku. Meski ibu tidur disampingku malam itu mataku tetap tidak bisa terlelap.
Aku masih takut namun juga penasaran. Bukankah lonceng jam dinding akan berbunyi setiap jam bukan hanya setiap dua belas malam, Mengapa suara lonceng itu mampu membuat jendela kamarku retak. Apa benar suara aneh itu adalah lonceng jam dinding.
Rasa takut yang tadinya sangat menghantui perlahan hilang terbawa berjuta pertanyaan di kepala. Aku menoleh pada jam dinding di kamarku, dua lebih lima menit. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela kemudian membuka tirai ku perhatikan kaca yang retak karena suara lonceng yang teramat keras itu. Tiba-tiba saja aku ingin keluar sebentar melihat apakah ada kaca lain yang retak selain kaca jendelaku. Jika kaca jendelaku saja retak lalu bagaimana dengan rumah warga yang lainnya apakah kaca rumah warga yang lainnya juga retak. Bagaimana dengan rumah yang didalamnya berisikan jam dinding dengan lonceng aneh itu.
Pertanyaan-pertanyaan aneh mulai menghantuiku. Kali ini aku ingin melawan rasa takut itu. Aku ingin tahu sebenarnya lonceng seperti apa yang berbunyi setiap jam dua belas malam itu. Apakah benar seperti yang dikatakan orang-orang sekitarku bahwa itu adalah jam dinding keramat. Lalu siapa yang tinggal di rumah sebelah itu. Selama berbulan-bulan aku tidak pernah melihat ada orang yang menempati rumah itu namun anehnya rumah itu selalu bersih dan pada siang hari tirai jendela rumah itu selalu terbuka. Begitu juga pada malam hari seluruh lampu disekitar rumah itu bersinar terang.
Malam itu aku mencoba memberanikan diri untuk berjalan keluar rumah sekedar ingin melihat apakah ada kaca lainnya yang retak karena bunyi lonceng itu atau semua ini hanya imajinasiku. Seakan tidak masuk akal jika kaca jendela rumahku retak hanya karena bunyi lonceng jam dinding. Semua rasa takutku hilang dimakan oleh rasa penasaran.
Aku mengelilingin seluruh rumahku.
Memeriksa semua jendela sekedar ingin memastikan apakah ada jendela rumahku yang ikut retak seperti yang terjadi pada jendela kamarku. Namun tidak ada sama sekali jendela yang retak ataupun pecah. Semua biasa saja. Tiba-tiba saja aku ingin keluar sebentar melihat suasana diluar apakah warga ikut terbangun karena suara lonceng misterius itu atau malah sebaliknya. Rasanya mustahil jika tidak ada warga terganggu dengan suara lonceng yang begitu keras.
Sesampainya diluar aku melihat kesunyian dan tidak ada satupun manusia di luar. Hanya kemilau lampu yang sangat ramai. Aku merasa aneh apa mungkin hanya aku yang mendengarkan suara lonceng aneh itu mustahil rasanya jika tidak ada warga yang terganggu karena suara keras yang menyeramkan itu. akhirnya aku memutuskan untuk berbalik badan dan kembali masuk ke dalam rumah, namun saat aku hendak menutup pintu rumah dari kejauhan aku melihat bayangan seorang lelaki berjalan perlahan ke arah rumahku.
Aku menatap lelaki itu dengan seksama dia tampak seperti sosok ayah. Dia datang persis seperti ayah yang berada dalam mimpiku tadi malam. Namun aku belum bisa begitu percaya ku perhatikan lagi seseorang itu langkahnya semakin dekat dan aku seperti tak percaya bahwa lelaki yang berjalan perlahan menuju rumah itu adalah ayahku. Aku berlari menuju ayah dan langsung memuluknya. Namun saat aku memeluk ayah aku menemukan tangan dan leher ayah penuh dengan darah. Ayah seperti telah dihabisi oleh komplotan penjahat.
“Ayah.!” Aku tidak dapat berkata apa-apa.
Mulutku seakan terkunci perasaanku semakin tak menentu. Aku bahagia ayah telah kembali namun aku tidak akan pernah bisa melihat ayah terluka seperti saat sekarang ini. seakan tak ingin melepaskan pelukkanku pada ayah.
Aku terus memeluk ayah tanpa peduli akan tangisku yang begitu keras. Setelah beberapa saat ayah menarik bahuku dan menatap kedua bola mataku dengan sangat dalam.
Ayah hanya berkata
“Ikhlaskan!” lalu memberiku sebuah lonceng kecil berwarna hitam yang semalam lonceng itu juga hadir dalam mimpiku.
“Benda apa ini yah?”
“Jadikan benda itu sebagai peluru untuk melawan rasa takutmu. “
“Lonceng?”
“Iya gunakan lonceng ini untuk melawan rasa takutmu nak. Di dunia ini tidak ada yang perlu kau takuti kecuali sang pemilik hati.” Ucap ayah sambil membalikkan badan.
“ayah hendak kemana.?”
Lelaki yang sangat aku rindukan itu membalikkan badannya dan berjalan meninggalkanku.
Tanpa ku sadari waktu berjalan dengan cepat suara kokokkan ayam mulai terdengar. Suara-suara penyejuk dari mesjid mulai terdengar. Aku kembali masuk ke rumah dan berharap ibu belum bangun dari tidurnya. Aku tak ingin ibu mengetahui apa yang telah ku alami malam ini.
Sesampainya dikamar ternyata ibu belum terbangun dari tidurnya aku langsung membaringkan badan disampingnya.
Malam itu aku tidak tertidur dan sepertinya ibu tidak menyadarinya. Aku menyembunyi lonceng hitam kecil pemberian ayah dalam saku bajuku. Setelah ibu bangun dan beranjak dari kamarku aku mengeluarkan benda pemberian ayah itu. keningku berkerut dibuatnya. Sebenarnya apa maksud ayah memberiku lonceng kecil hitam ini. Apa kaitan lonceng ini dengan rasa takut yang aku alami saat ini.
Mungkinkah lonceng yang diberikan ayah adalah lonceng yang berbunyi di setiap tengah malam itu. namun mustahil rasanya jika lonceng kecil ini mampu membuat kaca jendela kamarku retak dengan suara keras yang dihasilkannya. Aku masih berpikir-pikir untuk apa ayah memberiku lonceng kecil ini.
Pada siang harinya aku mencoba memainkan lonceng itu. suara loncengnya tidak begitu keras bahkan sangat kecil sesuai dengan ukurannya yang hanya segenggaman tangan saja.
Saat tengah asik memainkan lonceng dari ayah tiba-tiba sajaa ibu menghampiriku dan berkata,
“Benda apa itu nak. Apa yang kau lakukan dengan benda itu?”
Dengan berat hati terpaksa aku mengatakan apa yang sedang aku lakukan dengan benda ini kepada ibu. Walau sebenarnya aku benci harus mengatakannya kepada ibuku sendiri.
“Ini hanya sebuah lonceng mainan pemberian temanku bu.” Tiba-tiba saja mulutku dengan seenaknya saja berbohong mengatakan bahwa lonceng itu pemberian temanku bukan pemberian ayah yang datang menghampiriku tadi malam.
“Siapa temanmu itu.?
“Bukan siapa-siapa bu. Ia hanya seorang teman sekolah.”
“Sepertinya lonceng kecil yang hitam ini sudah taka sing lagi dimata ibu.”
“Benarkah bu.? Jantungku berdesir seketika ibu mengatakan hal tersebut. Mungkinkah ibu mengetahui bahwa lonceng ini adalah pemberian ayah.
“Kau jaga baik-baik lonceng ini dan jangan dimainkan ketika matahari tenggelam.”
“Baik bu.”
Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan ibu. Mengapa aku harus berhenti memainkan lonceng ini ketika matahari tenggelam. Mungkinkah lonceng kecil ini memiliki kekuataan. Tetapi tadi malam saat memberikan lonceng ini ayah tidak berpesan apa-apa kepadaku mengenai lonceng ini.
Perlahan matahari mulai terbenam langit pun berubah menjadi hitam dan bulan mulai menampakkan dirinya, malam ini aku tidak merasa ketakutan seperti malam sebelumnya. Justru aku menunggu suara lonceng itu berbunyi dan ingin melihat apakah ada warga yang terganggu dengan suara yang sangat keras itu. Semua semakin tidak masuk di logika ku ketika kaca jendelaku retak karena suara keras lonceng itu. Jika memang suaranya sangat keras mustahil saja jika tidak ada warga yang terganggu.
Aku duduk di jenjang rumah sambil memegang lonceng kecil pemberian ayah. Rasanya ingin sekali aku memainkan lonceng itu. hanya saja aku takut jika ibu mengetahuinya. Aku menikmati angin malam yang dingin sambil menatap lonceng itu. sebenarnya tanganku sudah gatal sekali untuk ingin memainkan lonceng itu. denting suaranya yang kecil membuatku sulit untuk tidak memainkannya.
Melihat lonceng itu seperti aku melihat ayahku.
Aku seperti berada dalam dekapan ayah seperti saat semalam aku memeluk ayah dengan sangat erat. Secara tidak sengaja aku memainkan lonceng itu di jenjang depan rumah tanpa sepengetahuan ibu. Aku asik bermain hingga ibu menghampiriku dan mengambil lonceng itu dari tanganku.
“Jangan mainkan lonceng ini Karla.” Ucap ibu dengan tegas
Aku ketakutan melihat wajah ibu yang begitu serius ketika mengambil lonceng itu dari tanganku.
“Maafkan aku bu.”
“Ibu akan memberikan lonceng ini lagi jika kau benar-benar berjanji untuk tidak memainkannya di malam hari.”
“Kenapa aku tidak boleh memainkan lonceng ini saat malam bu.?”
“Setiap bunyi lonceng ini adalah tanda panggilan kepada siapa saja nanti kau mengundang orang ramai ke rumah ini.”
Aku semakin tidak paham dengan apa yang ibu katakan. Namun aku hanya mengangguk saja dan membuat janji kepada ibu bahwa aku tidak akan memainkan lonceng itu lagi saat malam hari.
Lalu ibu pergi meninggalkanku di jenjang depan rumah dan aku masih terdiam dengan banyak pertanyaan yang manghantui kepalaku. Bukankah lonceng kecil ini hanyalah sebuah mainan dan suaranya tidak seperti lonceng yang setiap malam selalu membuatku ketakutan itu. sebenarnya ada apa dengan lonceng ini dan mengapa malam ini ayah tidak datang menghampiriku.
Jarum jam menunjukan jam sepuluh lebih tiga puluh dua menit. Aku memutuskan untuk berbalik badan dan memasuki rumah. Namun saat aku hendak membailikkan badan aku membunyikan sekali saja dentingan lonceng kecil pemberian ayah kali ini bunyinya membuatku tersenyum dan rinduku pada ayah sedikit terobati. Saat itu aku berharap ibu tidak mengetahuinya bahwa lonceng kecil itu aku bunyikan lagi.
Aku masuk ke rumah langsung menuju kamar. Saat hendak tertidur aku memeriksa seluruh jendela berharap nanti malam kacaku tak jadi pecah karena suara lonceng dari rumah sebelah yang sangat keras itu. setelah selesai memeriksa semuanya aku membaringkan badan di tempat tidur lalu memejamkan mata dengan tenang sambil mengenggam lonceng kecil pemberian ayah semalam.
Saat terbangun aku mengira bahwa sudah larut dan lonceng itu akan segera berbunyi . aku menatap ke arah jam dinding ternyata jarum jamnya sudah menunjukan pukul empat lebih empat puluh lima menit. Aku menatap sekitar kamarku memastikan bahwa tidak ada hal aneh yang terjadi tadi malam. Aku memeriksa jendela kamarku tidak ada hal aneh apapun yang terjadi mungkin lonceng tetangga itu telah berhenti berbunyi atau mungkin saja rusak pikirku. Aku begitu bahagia hari itu karena pada harinya aku dapat terlelap dengan nyanyak tanpa ada gangguan dari suara lonceng itu.
Matahari kian meninggi dan aku melihat sekumpulan warga mengerumuni rumah tetangga yang di dalamnya memiliki lonceng jam dinding itu. mungkin para warga mengucapkan terima kasih kepada pemilik rumah bahwa malam ini mereka telah tertidur pulas tanpa ada gangguan dari lonceng tersebut. Semakin siang aku melihat semakin banyak warga yang mendatangi rumah itu. satt itu juga aku sadar bahwa ibu dari pagi tidak ada dirumah mungkin ibu juga ikut serta dalam kerumunan orang-orang itu.
Penasaran dengan apa yang dilakukan warga di rumah sebelah aku memutuskan untuk melihat kejadian apa yang terjadi disana. Sesampainya di rumah tersebut. Aku melihat warga sibuk berjalan kesana kemari. Aku juga melihat ada beberapa orang polisi di dalam rumah itu. Hanya beberapa warga saja yang diizinkan masuk ke dalamnya. Dari kejauhan aku melihat ibu berada di dalamnya segera aku berlari menyusul ibu masuk ke dalam rumah itu.
Aku melihat ibu menagis memuluk mayat yang berada di depannya. Aku heran mengapa ibu menangis seperti orang kesurupan. Seperti yang diratapinya itu adalah keluarga kami. Saat aku mendekati ibu. Wanita paruh baya itu langsung memelukku dan berkata,
“lonceng itu yang membunuh ayahmu.” Ucap ibu sambil membuka kain penutup wajah ayah.
Seluruh tubuhku kaku, ruangan terasa hampa dan hening. Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Pare, 18 november 2017
Post a Comment