Posted by : Gelas Kaca December 20, 2022

Tembang Tengah Malam


Malam ini udara teramat dingin. Hujan tak kunjung reda semenjak tadi sore. Bising suara hujan dan hembusan angin menganggu tidurku. Malam semakin suram ketika Mbah sami mulai menyanyikan tembang jawa kesukaannya. Judul tembang jawa itu “Lingsir Wengi”. Setiap malam aku tidak bisa tidur nyenyak karena suara Mbah Sami cukup keras. Ini cukup mengangguku hingga akhirnya aku memutuskan untuk berjalan ke kamar Mbah Sami. 

“Punten* Mbah, Ira boleh masuk?
 “Masuk.”
“Ada apa Ra?
“Punten. Ini sudah larut tolong kecilkan suara music dan suara nyanyian Mbah.“
“Aku ingin mengenang Mbah kakung mu ndok’
“Mbah kakung udah tenang disisi yang kuasa.”
“Diam! Kalau tidak suka tutup saja telingamu kemudian tidur.’

Aku terdiam kemudian berlalu dan meninggalkan kamar Mbah Sami. Malam semakin larut. Mbah sami juga makin tenggelam dalam tembang tengah malamnya. 
Mbah sami merupakan ibu dari ayahku. Kami tinggal bersama semenjak Mbah Kojo meninggal dua bulan yang lalu. Ayah memutuskan untuk mengajak Mbah Sami tinggal bersama kami. Namun semenjak kedatangan Mbah Sami aku merasa ada yang aneh dengannya. Dia tidak seperti biasanya. Dulu mbah sami begitu ramah terhadap siapapun. Apalagi keluarganya sendiri. Tiga bulan sekali Mbah sami selalu berkunjung ke rumah kami. Dan saat itu mbah sami selalu membuatkan ku secangkir teh panas dan menghidangkan beberapa roti untuk sarapan, begitu juga saat sebelum tidur Mbah Sami selalu membacakan dongeng-dongeng lucu dimana cerita itu hanya aku dan Mbah Sami yang tahu. Namun semenjak kematian suaminya sikap mbah sami berubah total. Ia menjadi pendiam dan tertutup kepada siapa saja. Termasuk ayah. Anak tunggalnya. 
Kematian mbah kakung seolah menjadikan hidup Mbah Sami menjadi suram. Ia merasa asing, sepi dan sendiri. Tembang tengah malam selalu jadi penghiburnya. Mbah merasa tidak mempunyai teman untuk berbagi cerita. Ia lupa padahal kami yang selalu setia menemani, merawatnya dan mendengarkan segala isi hatinya. Mungkin karena mbah sami dan ayah tidak pernah tinggal serumah semenjak ayah masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Masa kecil ayah habiskan di desa paman Yatso. 

Siang itu aku dan ayah asik bercerita di depan teras rumah. Ayah menceritakan masa kecil yang ia habiskan di desa kecil ini. Hanya saja ayah sedikit menyesal sewaktu paman yatso memaksa untuk tinggal bersamanya dengan alasan pendidikan. Sekolah lebih dekat dari rumah paman Yatso dibandingkan dengan rumah Mbah Sami. Ayah harus melintasi sungai dan berjalan kaki sejauh tiga kilometer. Namun ketika ia telah tinggal bersama Mbah Sami malah ayah dan mbah Sami tidak begitu dekat. Mungkim karena ayah tidak sepenuhnya menghabiskan masa keci bersama kedua orang tuanya itu. 

“Nak, coba dekatkan dirimu seperti dulu lagi kepada mbah putrimu, mbahmu sepertinya sangat terpukul dengan kepergian mbah kakung yang terkesan mendadak.’
“aku sudah mencobanya ayah, tapi mbah selalu bersikap dingin. Semenjak kepergian mbah kakung.”
ayah kemudian bergumam dan berkata “Lingsir Wengi.”
“judul tembang yang tiap malam di nyanyian mbah.” 
“kau benar.”
“Lalu?”
“Tembang itu.. (ayah menghentikan ucapkannya dan terdiam lalu menatap ke arah pohon jambu yang tepat berada di depan rumah.)
“Kenapa ayah? Ada apa dengan tembang itu? Aku merasa ada yang aneh dari tembang jawa itu. Apakah benar itu tembang kesukaan Mbah Kakung?
“Kau banyak bertanya Ra.” Kemudian ayah pergi dan meninggalkan ku sendiri di teras rumah.

Ayah selalu seperti itu menghindari pertanyaan-pertanyaan yang beruntun dan terkesan memaksa. Ayah bukanlah seorang yang suka berdebat panjang dan menjawab seluruh pertanyaanku. Bahkan waktu ini adalah waktu yang langka dimana ayah dan aku duduk berdua dan ayah menceritakan masa kecilnya. Ayah tidak pernah seperti ini sebelumnya. 
“Sedang apa kau Ndok?” tiba-tiba saja suara Mbah Sami terdengar nyaring dan begitu lembut di telingaku. Kemudian Mbah Sami duduk di tepat di kursi yang tadi di dudukki ayah. Jip Mbah."
“Di desa ini ayah mu tumbuh menjadi lelaki yang kuat. Dia hidup terpisah dari kami saat usianya baru memasuki tiga belas tahun.”
“Hatur sembah*, Mbah. Ira boleh bertanya?”
“Apa itu Ndok?”
“Mmmmp.. tentang tembang jawa ituu…” lidahku terhenti seakan kaku untuk menanyakan perihal nyanyian tengah malam itu.
“Mbah sudah bilang itu tembang kesukaan Mbah Kakungmu.” Jawab Mbah Sumi dengan nada yang cukup tinggi kemudian ia pergi meninggalkan ku menuju kamarnya. Sesampainya di kamar Mbah Sumi menyalakan CD dan memutar musik sebagai pengiringnya bernyanyi. 

Lingsir wengi
Sepi durung biso nendro
Kagodho mring wewayang
Kang ngreridhu ati
Kawitane*

Tembang itu seakan menyeret seluruh jiwa Mbah Sami untuk masuk ke dalam dunia yang berbeda. Semenjak aku sering menanyakan tentang lirik itu kepada Mbah Sami. Beliau sepertinya semakin terpukul dan selalu dihantui bayangan Mbah Kakung. Tapi kali ini Mbah Sami tidak lagi menyanyikan tembang itu tengah malam. Hampir tiap hari pagi, sore dan tengah malam Mbah Sami larut dengan tembangnya . 

Hingga akhirnya warga mulai merasa risih dengan nyanyian itu. 
“Ra, Mbah mu masih waras? Tiap menit selalu menyanyikan tembang tengah malam?” Ucap temanku Karyo.
“Mbahku waras! Mbah Sami hanya rindu Mbah Kakungku! 
“Tapi warga merasa risih. Nyanyian itu menyeramkan.”
Aku mengerti mengapa mereka mengatakan Mbah Sami tidak waras. Mbah Sami bernyanyi hampir tak mengenal waktu.“

 Malam kembali datang dan Mbah Sami makin larut dengan tembangnya. Ia seperti sudah tak ingin mengenal apapun selain Lingsir Wengi. Saat Mbah Sami tengah asik berdendang dengan tembangnya. Tiba-tiba saja beberapa warga mengetuk pintu rumah. 

“Kami sudah tidak bisa membiarkan Ibu mu tinggal di desa ini lagi, dia telah menganggu kenyamanan warga.” Ucap salah satu warga sambil menunjuk ke wajah Ayah.
“Punten, ini kenapa? Ada apa dengan Ibu saya?” Jawab bapak pelan. 
“Ibu mu telah menganggu kenyamanan warga, tembang itu membuat kami tidak bisa istirahat.”

Terjadi kegaduhan di depan rumahku. Warga dan ayah beradu pendapat. Namun Mbah Sami masih tetap larut dengan tembangnya. Ia seakan tidak peduli dengan kegaduhan yang disebakan olehnya. 

###
Angin memaksaku untuk tetap berdiam di rumah. Ia menerbangkam daun-daun dan meruntuhkan pohon-pohon tumbang. Beberapa hari ini angin kencang sering menghampiri desa kami. Hanya sedikit penduduk yang berani keluar rumah sekedar untuk membeli makanan atau kebutuhan lainnya. Mbah Sami masih tetap sama. Menyanyikan tembangnya dengan keras dan merdu. Meski telah di tegur warga ia seakan tidak peduli dengan itu.  
Warga menganggap angin kencang ini di sebabkan oleh tembang Mbah Sami. Mbah ku di anggap sebagai pembawa bencana bagi penduduk desa Kembang. 

"Pak Suryo. Ibumu sudah gila." Ucap pak rt yang tiba-tiba saja bertamu ke rumahku. 
"Maksud Bapak? Ibu saya waras dan masih sehat."
"Ah, ibumu mungkin telah di kutuk. Lihat dia tidak bisa berhenti menyanyikan tembang yang menyeramkan itu."
"Tidak. Ibu tidak dikutuk. Dia hanya menghibur diri."
"Ibu pak Suryo telah membuat warga risih. Lihat cuaca belakang ini tidak menentu. Bisa jadi ini karena kutukan dari ibumu."
"Wah.. Wah.. Wahh. Kalau masalah warga terganggu dengan tembang Ibu saya masih bisa terima. Tapi dengan cuaca ataupun angin-angin itu ibu saya tidak ada hubungannya."
"Tolonglah pak Suryo hentikan Ibu mu bernyanyi, ini menganggu. Jika Mbah Sami tidak berhenti bernyanyi sampai besok saya akan mengusir Mbah Sami dari desa ini."
Keesokan harinya Mbah Sami masih tetap bernyanyi dengan tenang di kamarnya. Cuaca masih sama dengan kemarin. Angin kencang itu memaksa pohon-pohon untuk menggugurkan daunnya walau belum waktunya mereka gugur. Beberapa warga datang bersama pak rt sepertinya mereka benar-benar merasa terganggu dengan tembang tengah malam Mbah Sami. Mereka datang tidak untuk mengusir Mbah Sami. Melainkan menghentikan nyanyiannya.  
Saat warga dan pak rt hendak masuk ke kamar Mbah Sami. Ternyata Mbah Sami tidak ada di kamarnya. Ia hilang dalam sekejap. Kami cukup kaget dan kebingungan mencari kemana Mbah sami pergi.  

Tiga hari sudah Mbah Sami hilang. Kami belum juga kami berhasil menemukannya. Tembang tengah malam itu sudah tak terdengar lagi beberapa hari ini. Warga mulai tenang. Namun kami sangat khawatir akan kepergian Mbah Sami yang secara mendadak dan hilang tanpa meninggalkan jejak. 

Malam ini aku dikagetkan dengan suara kursi yang bergoyang dari samping tempat tidur Mbah Sami. Ada dendangan kecil yang terdengar samar di telingaku. Itu persis seperti suara Mbah Sami. Aku mencoba mendekati kursi itu. Ternyata benar itu Mbah Sami.  
"Mbah kemana saja? "
"Aku pergi sebentar Ndok."
"Kita semua khawatir Mbah."
"Lengsir Wengi. Aku sudah menyatu dengannya."
"Maksud Mbah?"
"Aku sudah menyatu dengannya."

         Semenjak Mbah Sami kembali. Tembang tengah malam itu hidup kembali. Ia masih bernyanyi ketika telah larut malam. Warga mulai merasa terganggu lagi dengan nyanyian Mbah Sami. Hari-hari dirumah kembali seperti biasa. Kami kembali mendengar tembang malam Mbah Sami dan warga kembali merasa terganggu.  

          Seminggu sudah Mbah Sami kembali. Ia tetap sama seperti Mbah sami yang telah kehilangan separuh jiwanya. Malam ini Mbah Sami menyanyikan tembang itu dengan sangat merdu dari dalam kamarnya. Namun kemerduan dan keindahan tembang itu membuat warga ketakutan. Mengingat tembang itu adalah tembang tengah malam dan seperti tembang untuk memanggil arwah yang telah meninggal. 

"Aku ingin menyusulmu" 
"Ini tembang kesukaanmu"
"Aku Kesepian"
Aku mendengar suara Mbah Sami mendesah dan Ia seperti berbicara dengan seseorang dari dalam kamarnya. Setelah suara-suara itu hilang Mbah Sami berhenti bernyanyi. Ternyata malam itu adalah malam terakhir bagi Mbah Sami untuk duduk di kursi goyang samping tempat tidurnya sambil menyanyikan tembang tengah malam. Mbah Sami pergi menyusul Mbah Kakung. 

Setelah Mbah Sami di kuburkan malamnya kami masih mendengar suara nyanyian tembang tengah malam. Dan suara itu berasal dari makam Mbah Sami. 


Jakarta, 24 Mei 2017
Gelas.Kaca_

- Copyright © Gelas Kaca - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -